MUI Ingatkan Prinsip Efisiensi Sesuai Arahan Presiden dalam Pengelolaan Keuangan Haji

MUI Ingatkan Prinsip Efisiensi Sesuai Arahan Presiden dalam Pengelolaan Keuangan Haji

17/03/2025 05:29 ADMIN

JAKARTA, MUI.OR.ID--Majelis Ulama Indonesia (MUI) mengingatkan prinsip efisiensi sesuai arahan Presiden Prabowo Subianto dalam pengelolaan keuangan haji.

Ketua MUI Bidang Fatwa Prof KH Asrorun Ni'am Sholeh, menyampaikan semangat efisiensi oleh pemerintah yang menjadi konsen dan komitmen itu harus diserap dalam revisi Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Keuangan Haji. 

"Karena itu revisi diarahkan dengan semangat efisiensi multi kelembagaan pengelolaan (haji) seperti hari ini. Saya, kita bisa menjadi salah satu pertimbangan di dalam penyusunan undang-undang terkait pengelolaan keuangan haji," kata ulama yang akrab disapa Kiai Ni'am itu saat Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) Komisi VIII DPR-RI. 

RDPU Komisi VIII DPR-RI bersama MUI dan BPKH terkait Revisi Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Keuangan Haji yang digelar di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Kamis (13/3/2025).

Kiai Ni'am mengatakan, evaluasi atas efektifitas dan efisiensi secara kelembagaan maupun pengelolaan yang normatis dan realistis serta yang diidealkan maupun yang sudah terjadi, dalam konteks ini BPKH yang umurnya sekitar 10 tahun.

"Itu bisa jadi bahan evaluasi dan secara politis untuk menentukan atas dasar prinsip efisiensi dan efektivitas," katanya.

Terkait aspek yuridis, Ketua MUI Bidang Fatwa ini mengatakan, revisi UU PKH harus diarahkan kepada pemastian terhadap aspek kepatuhan syariah karena wilayahnya haji, maka kepatuhan terhadap syariah menjadi hal yang sangat utama.

Selain itu, revisi UU PKH harus disesuaikan dengan regulasi yang lain, termasuk dengan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2024 tentang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (P2SK). 

"Sekalipun tidak terkait secara langsung, tetapi ini wilayahnya pengelolaan keuangan. Maka secara hukum, dia juga tunduk terhadap UU P2SK yang merupakan Omnibus Law aturan terkait keuangan," terangnya. 

Kemudian, penyesuaian dengan tata kelola haji pascakabinet baru. Menurutnya, sekalipun posisinya ada di bawah undang-undang, tetapi Perpres yang diterbitkan oleh presiden perlu dijadikan pertimbangan karena menunjukkan arah politik hukum dan arah politik kelembagaan kabinet ke depan.

"Pertimbangan sosiologisnya, kondisi sosial yang berubah, jenis investasi yang berkembang, tata kelola haji di Arab Saudi berubah, sehingga revisi diarahkan pada penyesuaian tata kelola yang berubah agar adaptif, solutif, realistis, dan kontekstual," kata Pengasuh Pondok Pesantren An-Nahdlah, Depok, Jawa Barat, itu.

Selain itu, MUI mengingatkan pemerintah bahwa tujuan utama dana setoran awal haji dari calon jamah adalah untuk dapat porsi, bukan investasi. MUI mengatakan, kepentingan negara dalam urusan haji ada 3 hal. 

Pertama, mengadministrasikan urusan haji. Kedua, mengembangkan uang calon jamaah haji. Ketiga, mewujudkan kemaslahatan.

"Orientasi negara hadir itu adalah nirlaba dan publik service. Tidak berfungsi sebagai 'agen travel' yang beriorentasi keuntungan. Uang jamaah haji yang dibayarkan sebagai setoran awal bukan ditujukan untuk investasi, tapi semata-mata mendapat porsi," kata dia.

Kiai Ni'am menekankan bahwa fungsi amanah negara dalam urusan haji, tidak sedang berdagang dengan masyarakat. Kiai Ni'am menjelaskan, hitung-hitungan negara tidak masuk wilayah laba, tetapi hitung-hitungannya adalah pewujudan kemaslahatan.

Kiai Ni'am mengingatkan lima aspek syariah dalam pengelolaan keuangan haji. Pertama, melindungi hak calon jamaah haji yang telah membayar setoran dana haji. Kedua, menjamin keamanan dana milik jamaah. 

"Jangan sampai kemudian karena mengelola hari ini untuk kepentingan hari ini dan esok, ternyata lusa (dananya) habis. Ini adalah kezaliman yang perlu dijaga dan dibentengi oleh undang-undang," tegasnya.

Ketiga, menjamin rasa keadilan jamaah. Keempat, menjamin keberlanjutan. Kelima, menghindarkan diri dari tindakan kezaliman baik mal praktik pengelolaan dan regulasi yang tidak tepat.

Pengasuh Pondok Pesantren An-Nahdlah, Depok, Jawa Barat ini menekankan, dana setoran haji statusnya adalah milik calon jamaah haji. Hal ini sebagaimana hasil Ijtima Ulama Komisi Fatwa se-Indonesia tahun 2012 yang menjadi salah satu landangan Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Keuangan Haji. 

"Statusnya dikelola oleh pemerintah dalam hal ini BPKH sebagai titipan. Diberikan kewenangan untuk kepentingan mengembangkan dalam konteks mewakili kepentingan jamaah sehingga, kalau ada nilai pengembangan dalam hal ini nilai manfaat, itu adalah punya jamaah," tegasnya. 

Guru Besar Ilmu Fikih UIN Jakarta ini menekankan, dana tersebut memang boleh diinvestasikan. Tetapi, tegasnya, tujuan utamanya bukan untuk investasi.

"Itu untuk kepentingan melipat gandakan dan mengoptimalkan dana yang ideal itu. Kemudiaan, manfaatnya harus kembali ke calon jamaah dan itu definitif; by name dan by address. Nah nanti dilihat kondisi secara faktual praktek hari ini dilakukan," ungkapnya. 

MUI menegaskan, nilai manfaat dari dana haji bukan milik BPKH maupun pemerintah. Bukan juga milik sepenuhnya calon jamaah haji yang akan berangkat. 

Meskipun, calon jamaah haji yang akan berangkat memiliki hak, tetapi secara proporsional sesuai berapa lama dia menunggu, kemudian dapat nilai manfaatnya berapa. 

"Berikutnya dikembalikan ke calon jamaah haji melalui virtual account yang juga diperintahkan oleh undang-undang penyelenggaraan haji sebagai saldo setoran awal. Sehingga jumlahnya bervariasi, sesuai dengan masa tunggu, semakin lama investasi masa tunggu, nilai manfaat akan semakin banyak," terangnya. 

Oleh karena itu, MUI menegaskan, nilai manfaat dana calon jamaah haji akan bervariasi, termasuk hasil akhir virtual account-nya. 

"Kemudiaan yang diinvestasikan bukan hanya pokok Rp 25 juta yang sekarang. Tetapi dia bertumpuk. Begitu lima tahun misalnya, dapat Rp 5 juta dari hasil investasi. Maka tahun keenam, yang diinvestasikan Rp 25 juta ditambah Rp 5 juta, berarti dia punya Rp 30 juta diinvestasikan berikutnya. Dan itu bagian dari by name dan by address," paparnya.

Sementara dana abadi umat, sesuai keputusan Ijtima Ulama, statusnya adalah dana umat Islam secara kolektif. Sehingga dana tersebut bukan dana pemerintah yang tidak bisa dikelola dengan mekanisme APBN karena ini adalah uang umat. 

"Secara fikih, pada hakikatnya kedudukannya sama dengan wakaf. Jadi pokoknya harus tetap, tapi manfaatnya bisa digunakan untuk kepentingan umat. Tetapi, pokok di sini tidak hanya pokok nominal, tetapi pokok pada nilai. Jangan sampai kemudian, kita mencukupkan diri pada dana Rp 2,8 triliun yang 20 tahun lalu misalnya, sekarang tetap Rp 2,8 triliun. Itu value-nya sudah berbeda seiring dengan tingkat inflasi," jelasnya.

Kiai Ni'am menekankan, dana setoran haji boleh di-tasyaruf-kan untuk hal produktif yang ditempatkan di perbankan syariah atau diinvestasikan dalam bentuk sukuk. 

Kiai Ni'am mengungkapkan, pengelolaan dana tersebut dalam hal ini BPKH, boleh memperoleh reward dari mengelola dana tersebut. Tetapi, Kiai Ni'am menekankan, reward tersebut diberikan sesuai dengan effort yang dikeluarkan oleh teman-teman BPKH dalam mengelola dana tersebut.

"Kalau ditempatkan di sukuk misalnya seperti 70 persen hari ini dilakukan oleh teman-teman BPKH, sebenarnya dia tidak berhak. Karena tidur saja, penempatannya di sukuk, itu tidur saja sudah tumbuh. Artinya, sudah ada nilai manfaatnya. Anak kecil saja, kira-kira begitulah sederhananya, bagaimana effort, nilai ujroh bagi pengelola itu seiring dengan usaha yang dia lakukan. Kalau nggak ada usaha, masa dapet bagian, kira-kira begitu," tegasnya.

Dalam kesempatan ini, Kiai Ni'am mengkritisi skema pengembalian dana haji bagi jamaah yang gagal berangkat. Menurutnya, skema saat ini tidak adil. 

Prof Ni'am mengungkapkan, jamaah haji yang tidak berangkat karena meninggal, membatalkan, dan dibatalkan karena alasan syar'i, dana setoran dikembalikan. 


"Pasal 14 Undang-Undang Pengelolaan Keuangan Haji mengatur jika ada jamaah batal berangkat karena meninggal, membatalkan, dibatalkan alasan syar'i, dana dikembalikan," ujarnya.

Kiai Ni'am menerangkan, dalam pasal tersebut disebutkan bahwa jamaah haji yang gagal berangkat tersebut dananya akan dikembalikan sebesar saldo setoran.

"Artinya berapapun (nilai manfaatnya) baliknya cuma Rp 25 juta seperti saldo setoran. Ini berarti belum sejalan dengan semangat bahwa nilai manfaat yang sudah dia peroleh ini harusnya juga dikembalikan," tegasnya. 

Guru Besar Bidang Ilmu Fikih UIN Jakarta ini menekankan, apabila tidak berangkat haji karena alasan yang sah, jamaah tersebut memperoleh hak pengembalian dana dari saldo pada saat daftar ditambah dengan nilai manfaat yang diperoleh selama masa tunggu haji atau investasi tersebut.

Kiai Ni'am menegaskan, nilai manfaat tersebut merupakan milik calon jamaah haji secara personal sehingga harus dikembalikan kepada pemiliknya. 

"Dan pemiliknya itu diketahui secara definitif by name by addres melalui virtual account-nya. Kemudian untuk "subsidi" perlu diganti karena itu uang jamaah ke jamaah," terangnya. 

Pengasuh Pondok Pesantren An-Nahdlah, Depok, Jawa Barat, ini menjelaskan, pensubsidian dari calon jamaah haji kepada jamaah haji lain yang akan berangkat tanpa hak dan secara syar'i bermasalah. 

"Secara syar'i ini bermasalah. Secara operasional berpotensi menimbulkan problem keuangan dalam jangka panjang dan mengancam keberlanjutan pengelolaan dana haji," tuturnya. 

Menurutnya, melalui revisi undang-undang pengelolaan keuangan haji merupakan momentum untuk memperbaiki tata kelola haji yang lebih baik.

Selain itu, dalam kesempatan ini, MUI mengusulkan adanya Dewan Pengawas Syariah (DPS) dalam pengelolaan dana keuangan haji. 

Ketua MUI Bidang Fatwa ini menyampaikan, dalam Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Keuangan Haji pada bab 4 pasal 34 persyaratan umum anggota pelaksana dan dewan pengawas Badan Pengelola Keuangan Haji (BPKH).

"Di dalam syaratnya disebutkan salah satunya memiliki pengetahuan ekonomi syariah. Tetapi tidak ada syarat secara spesifik terkait pengetahuan (mengenai) hukum ekonomi syariah atau hukum syariah," kata dia.

Kiai Ni'am, menjelaskan pengetahuan hukum ekonomi syariah secara merujuk pada dua hal, yakni operasionalnya yang kompeten dan pengawasan terhadap hukum syariahnya. 

"Secara terminologi ekonomi syariah itu pada aspek operasionalnya, tapi yang penting di samping aspek operasionalnya yang kompeten, pengawasan terhadap hukum syariahnya," sambungnya. 

Menurutnya, ini sejalan dengan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2003 tentang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (PPSK). Dalam undang-undang tersebut juga mengatur pengertian mengenai prinsip syariah. 

Kiai Ni'am menerangkan, prinsip syariah itu adalah prinsip hukum Islam berdasarkan fatwa yang dikeluarkan oleh lembaga yang memiliki kewenangan dalam penetapan fatwa di bidang syariah. 

"Sementara Undang-Undang Pengelolaan Haji, sungguh pun menyebutkan di dalam pasal 2 tentang pengelolaan keuangan haji wajib berprinsip syariah, tapi tidak ada penjaminan hukum syariah di dalamnya," ujarnya.

Untuk itu, kata dia, MUI mengusulkan secara khusus kedudukan DPS di dalam pengelolaan dana keuangan haji yang sejajar dengan komisaris, pengawas, dan dewan pengawas. 

"Untuk itu, kami usul secara khusus kedudukan DPS di dalam dana pengelolaan keuangan haji. Di samping dewan pengawas yang kedudukannya sama dengan komisaris, kemudian pengawas dan dewan pengawas," jelasnya.

(Sadam ed: Muhammad Fakhruddin) 

Tags: undang undang haji, revisi undang undang haji