Konten Keislaman di Tengah Gelombang Digital: Literasi Islam Wasathiyah Jadi Bintang Penunjuk Arah

Konten Keislaman di Tengah Gelombang Digital: Literasi Islam Wasathiyah Jadi Bintang Penunjuk Arah

16/06/2025 19:59 ADMIN

Oleh

KH. Masduki Baidlowi

Ketua Dewan Pimpinan MUI Bidang Informasi dan Komunikasi 


Di tengah arus digitalisasi yang kian deras, cara umat Islam Indonesia memahami dan mengakses ajaran agamanya mengalami transformasi besar. Kini, belajar agama tak lagi hanya melalui pengajian di masjid atau majelis taklim, tetapi juga melalui layar ponsel. Fenomena ini membawa peluang besar, sekaligus risiko serius.

Data hasil Survei PPIM UIN Jakarta 2017 menunjukkan bahwa hampir 51% pelajar dan mahasiswa di Indonesia mencari pengetahuan agama melalui internet dan media sosial — angka yang mengungguli referensi dari buku cetak. Tren ini makin menguat seiring penetrasi internet yang pada awal 2024 telah menjangkau hampir 80% populasi. “Ustaz Google”, video TikTok bertema dakwah, dan aplikasi tafsir digital kini menjadi rujukan utama bagi generasi muda Muslim.

Digitalisasi membuka ruang baru yang revolusioner. Dakwah dapat menembus batas geografis dan waktu. Ceramah ulama besar bisa dinikmati dari desa terpencil di Indonesia Timur. Anak muda bisa belajar hadits atau fikih melalui podcast, infografis, atau sesi tanya-jawab daring. Ini era baru: ruang maya telah menjadi mimbar, dan algoritma menjadi penjaga pintunya.

Namun, transformasi ini juga memunculkan ironi. Di balik kemudahan, tersimpan ancaman serius: radikalisme dan disinformasi keagamaan tumbuh subur di ruang digital. Riset PPIM UIN Jakarta 2017 mencatat dominasi narasi konservatif dalam media sosial keagamaan, mencapai 67%, jauh meninggalkan narasi moderat yang hanya 22%. Pesan Islam yang ramah dan sejuk sering kali tenggelam di tengah gemuruh konten sensasional dan ekstrem.

Lebih parah lagi, algoritma media sosial mendorong konten yang memicu keterlibatan emosional, bukan edukasi. Akibatnya, pesan-pesan moderat sering luput dari perhatian. Situasi ini diperparah dengan kehadiran “ustaz instan” — tokoh agama populer yang tidak memiliki latar belakang keilmuan yang mumpuni. Banyak dari mereka menyampaikan tafsir agama tanpa sanad, melahirkan pemahaman sempit dan bahkan membenarkan kekerasan atas nama agama.

Tak sedikit pula konten digital yang menyebarkan hadits palsu, hoaks, atau teori konspirasi dengan balutan agama. Bagi masyarakat yang belum memiliki literasi digital yang memadai, semua informasi tersebut dianggap benar. Pemerintah sendiri mengakui telah memblokir hampir 181 ribu konten ekstremisme dan intoleransi sepanjang 2024 — angka yang mencemaskan.

Padahal, mayoritas umat Islam Indonesia sesungguhnya berpijak pada Islam kebangsaan — Islam yang damai, sejuk, dan selaras dengan Pancasila. Survei SMRC 2017 menunjukkan bahwa 79% masyarakat mendukung bentuk negara berbasis Pancasila, sementara hanya 9% yang mendambakan sistem khilafah. NU dan Muhammadiyah sebagai ormas Islam utama telah memainkan peran sentral dalam menjaga semangat kebangsaan dan demokrasi.

Namun jumlah bukan segalanya. Kaum moderat sering kali menjadi mayoritas yang diam (silent majority), kalah suara dari minoritas ekstrem yang vokal dan mahir memanfaatkan algoritma. Ini menjadi tantangan besar: bagaimana memastikan ruang digital tidak menjadi sarang radikalisme, tetapi justru lahan subur bagi penyebaran Islam wasathiyah — Islam yang tengah dan menyejukkan?

Langkah-langkah strategis sudah mulai ditempuh. NU dan Muhammadiyah, misalnya, terus memperkuat kehadiran digital mereka. Situs NU Online dan kanal dakwah Muhammadiyah menjadi rujukan penting bagi umat yang mencari ajaran Islam moderat. Mereka juga membentuk tim dakwah siber, berkolaborasi dengan pemerintah dalam program deradikalisasi, serta melatih dai muda untuk menjadi kreator konten yang cerdas dan efektif.

Literasi digital keagamaan harus menjadi agenda nasional. Umat perlu diajari cara memverifikasi sanad hadits, mengenali narasi radikal, dan memilih guru agama yang kredibel. Institusi pendidikan Islam harus memasukkan materi ini dalam kurikulum, dan akademisi sebaiknya aktif dalam membangun kontra-narasi berbasis riset.

Kolaborasi menjadi kunci. Pemerintah, ormas, kampus, komunitas, hingga perusahaan teknologi harus bersinergi menjaga kesehatan ruang digital. Kampanye publik, pelatihan, dan penyusunan kebijakan yang berpihak pada moderasi menjadi sangat penting.

Islam wasathiyah bukan hanya solusi keagamaan, tetapi fondasi harmoni sosial bangsa. Ia mengajarkan toleransi dalam keberagaman, mengokohkan nasionalisme dalam kerangka keimanan. Di tengah derasnya arus konten digital tanpa filter, ajaran Islam yang moderat dan mencerahkan harus menjadi bintang penunjuk arah.

Indonesia akan tetap kokoh sebagai bangsa yang religius sekaligus pluralis jika ruang siber dipenuhi oleh dakwah yang mencerdaskan, bukan menghasut. Ini saatnya kaum moderat bersuara lebih lantang — bukan untuk melawan, tapi untuk merangkul.


Tags: Literasi Digital, Opini