Hubungan Spritual antara Lingkungan dan Mandat Kekhalifahan

Hubungan Spritual antara Lingkungan dan Mandat Kekhalifahan

24/06/2025 06:12 ADMIN

Foto: freepik 

JAKARTA, MUI.OR.ID—Dalam panorama keimanan Islam, manusia bukan sekadar penghuni bumi yang kebetulan mendiaminya, melainkan dianugerahi status istimewa sebagai khalifah—wakil Allah SWT di muka bumi.

Status ini bukan sekadar gelar kehormatan, melainkan amanah yang membebani pundak setiap muslim dengan tanggung jawab kolosal untuk memelihara, menjaga, dan memakmurkan bumi.

Pada satu sisi manusia diciptakan sebagai hamba, dan pada sisi lainnya sebagai khalifah. Dua hal ini sejatinya sudut yang berbeda, peran sebagai hamba adalah mengabdikan diri kepada Allah Sang Khaliq, dengan cara beribadah. Namun peran lain yang tidak dilupakan adalah bahwa manusia sebagai khalifah.

Tugas kekhilafahan tersebut dapat diwujudkan dalam dua hal, yaitu bermuamalah pada sesama manusia dan bermuamalah kepada makhluk Allah SWT selain manusia termasuk alam semesta. Alquran dengan tegas menyatakan dalam Surah Al-Baqarah ayat 30:

وَاِذْ قَالَ رَبُّكَ لِلْمَلٰۤىِٕكَةِ ِانِّيْ جَاعِلٌ فِى الْاَرْضِ خَلِيْفَةًۗ

Artinya: “Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para Malaikat: 'Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi."

Kerusakan lingkungan yang kita saksikan hari ini, seperti deforestasi masif, pencemaran air dan perubahan iklim pada hakikatnya merupakan manifestasi dari kegagalan dalam mengemban amanah kekhalifahan.

Padahal Islam memandang alam semesta sebagai ayat-ayat kauniyah—tanda-tanda kebesaran Allah SWT yang seharusnya menuntun manusia pada penghayatan akan keagungan dan kebijaksanaan Ilahi.

Terhadap hal tersebut, Allah SWT telah menegaskan dalam Alquran Surah Ar-rum ayat 41:

ظَهَرَ الْفَسَادُ فِى الْبَرِّ وَالْبَحْرِ بِمَا كَسَبَتْ اَيْدِى النَّاسِ لِيُذِيْقَهُمْ بَعْضَ الَّذِيْ عَمِلُوْا لَعَلَّهُمْ يَررْجِعُوْنَ

Artinya: “Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan perbuatan tangan manusia. (Melalui hal itu) Allah membuat mereka merasakan sebagian dari (akibat) perbuatan mereka agar mereka kembali (ke jalan yang benar).”

Krisis lingkungan yang kita hadapi saat ini menuntut respons kolektif dari umat Islam berdasarkan prinsip-prinsip keislaman dan kekhilafahan. Inilah mengapa pengembangan fiqih ekologi (fiqh al-bi'ah) menjadi sangat krusial dalam konteks kekinian.
Terdapat cabang yurisprudensi Islam yang secara khusus mengkaji persoalan lingkungan dari perspektif hukum Islam.

Dalam konsep ekologis, Islam mengembangkan konsep-konsep khusus yang relevan dengan isu-isu lingkungan kontemporer, seperti hima (kawasan lindung) yang merujuk pada praktik Nabi Muhammad SAW yang menetapkan kawasan-kawasan tertentu sebagai area lindung dimana eksploitasi sumber daya alam dibatasi demi kemaslahatan umum.

Konsep semacam ini telah dikembangkan sejak masa awal Islam, menawarkan model pengelolaan sumber daya alam yang seimbang antara pemanfaatan dan konservasi.

Respons kolektif umat Islam terhadap krisis lingkungan harus dimulai dengan pengembangan kesadaran ekologis dan konsep kekhalifahan. Terdapat lima prinsip utama yang dapat menjadi kerangka praktis bagi umat Islam dalam mengelola lingkungan.

Pertama, prinsip tauhid yang menuntut pengakuan bahwa segala bentuk eksploitasi lingkungan yang melampaui batas merupakan bentuk kesyirikan ekologis—menempatkan kepentingan manusia di atas kehendak Allah SWTT terhadap ciptaan-Nya.

Kedua, prinsip khilafah yang menggarisbawahi peran manusia sebagai wakil Allah SWT yang bertanggung jawab atas keberlanjutan bumi.

Ketiga, prinsip ekologis yang mengharuskan distribusi manfaat sumber daya alam secara merata dan pencegahan kerusakan lingkungan yang mempengaruhi kelompok marjinal.

Selain prinsip tersebut, nabi telah mempraktikkan keseimbangan antara kehidupan manusia dengan kelestarian alam sekitarnya. Dua hal tersebut senantiasa berjalan secara beriringan.

Dalam buku “Fikih Energi Terbarukan” karya Abdul Moqsith Ghazali dkk, ada 7 cara menjaga lingkungan ala Rasulullah SWT agar umat Islam mampu merawat kelestarian alam, yaitu larangan untuk mengeksploitasi dan memonopoli sumber energi, menjaga kebersihan lingkungan, penghijauan, tidak melakukan penggundulan dan penebangan hutan secara sembarangan, memanfaatkan tanah yang terlantar, adanya kawasan konservasi.

Hal ini sejalan pula dengan hadits Nabi Muhammad SAW berikut ini:

عَنْ سَعْدِبْنِ اَبِى وَقَّاصٍ عَنْ اَبِيْهِ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اِنَّ اللهَ طَيِّبٌ يُحِبُّ الطَّيِّبَ نَظِيْفٌ يُحِبُّ النَّظَافَةَ كَرِيْمٌ يُحِبُّ الْكَرَمَ جَوَادٌ يُحِبُّ الْجَوَادَ فَنَظِّففُوْااَفْنَيْتَكُمْ

Artinya: Dari Sa’ad bin Abi Waqash, dari ayahnya, Rasullah SAW bersabda, ”Sesungguhnya Allah Ta’ala itu baik (dan) menyukai kebaikan, bersih (dan) menyukai kebersihan, mulia (dan) menyukai kemuliaan, bagus (dan) menyukai kebagusan. Oleh sebab itu, bersihkanlah lingkunganmu.”(HR. Tirmidzi).

Hal ini menunjukkan bahwa relasi antara Islam dan lingkungan bukanlah sekadar hubungan instrumental dimana alam dilihat sebagai objek yang dimanfaatkan untuk memenuhi kebutuhan manusia.

Lebih dari itu, Islam memandang relasi ini sebagai hubungan spiritual yang mencerminkan tanggung jawab manusia sebagai khalifah Allah SWT di muka bumi.

Dengan demikian, umat Islam perlu kembali pada pemahaman autentik tentang posisi sebagai khalifah dengan berpedoman pada kesadaran ekologis dan prinsip kekhalifahan.

Fatwa MUI

MUI melalui Fatwa Nomor 22 Tahun 2011 tentang Pertambangan Ramah Lingkungan menetapkan sejumlah ketentuan hukum mengenai praktik pertambangan dalam perspektif Islam. Beberapa poin penting antara lain:

1. Pertambangan boleh dilakukan sepanjang untuk kepentingan kemaslahatan umum, tidak mendatangkan kerusakan, dan ramah lingkungan

2. Agar sah secara syar’i, praktik pertambangan harus memenuhi syarat berikut:
a) harus sesuai dengan perencanaan tata ruang dan mekanisme perizinan yang berkeadilan
b) harus dilakukan studi kelayakan yang melibatkan masyarakat pemangku kepentingan (stake holders)
c) pelaksanaannya harus ramah lingkungan (green mining)
d) tidak menimbulkan kerusakan dan pencemaran lingkungan serta perlu adanya pengawasan (monitoring) berkelanjutan
e) melakukan reklamasi, restorasi dan rehabilitasi pascapertambangan
f) pemanfaatan hasil tambang harus mendukung ketahanan nasional dan pewujudan kesejahteraan masyarakat sesuai dengan amanat UUD; dan
g) memperhatikan tata guna lahan dan kedaulatan teritorial

3. Pelaksanaan pertambangan sebagaimana dimaksud angka satu wajib menghindari kerusakan (daf’u al-mafsadah), yang antara lain:

a) menimbulkan kerusakan ekosistem darat dan laut
b) menimbulkan pencemaran air serta rusaknya daur hidrologi (siklus air)
c) menyebabkan kepunahan atau terganggunya keanekaragaman hayati yang berada di sekitarnya
d) menyebabkan polusi udara dan ikut serta mempercepat pemanasan global
e) mendorong proses pemiskinan masyarakat sekitar
f) mengancam kesehatan masyarakat

4. Kegiatan pertambangan yang tidak sesuai dengan persyaratan sebagaimana angka 2 dan angka 3 serta tidak mendatangkan kesejahteraan bagi masyarakat sekitar, hukumnya haram.

5. Dalam hal pertambangan yang menimbulkan dampak buruk sebagaimana angka 3, penambang wajib melakukan perbaikan dalam rangka menjamin kesejahteraan masyarakat dan kelestarian lingkungan hidup.

6. Mentaati seluruh ketentuan peraturan perundangundangan untuk mewujudkan pertambangan ramah lingkungan hukumnya wajib. (Rozi, ed: Nashih)

Tags: pelestarian lingkungan, tambang ramah lingkungan, aktivitas tambang, pertambangan, melestarikan alam, fikih ekologis, alam menurut islam, lingkungan menurut islam