
Hasil Ijtima Ulama Diterima Panglima TNI, Ketua MUI Jelaskan Isi Salam Lintas Agama
15/06/2024 16:48 ADMINISTRATORJAKARTA, MUI.OR.ID--Panglima Tentara Nasional Indonesia (TNI) Jenderal Agus Subiyanto menerima Hasil Ijtima Ulama Komisi Fatwa se-Indonesia VIII saat bersilaturahmi ke Kantor MUI, Menteng, Jakarta Pusat, Jumat (14/6/2024).
Berkas Hasil Ijtima Ulama Komisi Fatwa se-Indonesia VIII tersebut diberikan secara langsung oleh Ketua MUI Bidang Fatwa Prof KH Asrorun Ni'am Sholeh kepada Panglima TNI Jenderal Agus Subiyanto.
Pasca pertemuan tersebut, Prof Niam menjelaskan bahwa hal itu merupakan sub bahasan dari Keputusan Ijtima Ulama Komisi Fatwa se-Indonesia VIII tentang Panduan Hubungan Antarumat Beragama.
Prof Ni'am menegaskan, untuk menjamin toleransi yang hakiki, umat harus bisa mengenali karakteristik ajaran agama, mana yang domain ibadah, dan mana muamalah yang dimensinya adalah ibadah.
Dari identifikasi tersebut, terangnya, memerlukan adanya panduan bagaimana membangun hubungan antar umat beragama. Untuk domain ibadah, yang dikedepankan adalah menghormati dan menjamin kebebasan umat beragama dalam menjalankan ajaran agama tanpa harus mencampuradukkan.
Sementara dalam hal muamalah dan hubungan sosial, jelasnya, yang dikedepankan adalah kerja sama, saling mendukung untuk mewujudkan kebersamaan dan harmoni.
"Nah, salam dalam konteks Islam adalah relasi sosial, ada yang bersifat khusus yang memiliki dimensi ibadah karena di dalamnya ada doa khusus. Sementara doa dalam Islam itu jenis ibadah. Redaksinya sudah tertentu, mengucapkannya sunnah, menjawabnya wajib. Sementara kalau salam umum yang tidak terkait dengan ajaran khusus, yaitu sebagai sarana membangun harmoni dan dianjurkan," paparnya.
Lebih lanjut, Guru Besar UIN Syarif Hidayatullah Jakarta ini menekankan, dalam fatwa salam lintas agama ini memiliki dua dimensi yang harus diperhatikan. Dimensi yang pertama adalah muamalah.
Dalam muamalah, perbedaan agama tidak boleh menjadi alasan untuk membeda-bedakan, memisah-misahkan, dan perbedaan agama tidak boleh menjadi faktor pembelah di antara kita.
"Maka, atas dasar prinsip ini, setiap kita siapapun itu, sekalipun berbeda agama diwajibkan untuk menjalin kerja sama atas dasar prinsip moderasi, toleransi, dan kerja sama/saling menguntungkan dengan mengedepankan harmoni dan kedamaian," tuturnya.
Prof Ni'am memberikan contoh, dalam konteks jual beli, tidak ada aturan harus seagama, dan bertetangga tidak ada membeda-bedakan karena agama.
Tetapi disisi lain, ada dimensi ibadah keagamaan yang harus diperhatikan. Misalnya, sambungnya, dalam konteks pelaksanaan ibadah yang akan datang yakni Shalat Idul Adha 1445 H. Umat beragama lain tidak diperbolehkan mengikuti Shalat Idul Adha.
Menurutnya, apabila ada non Muslim yang ikut Shalat Idul Adha merupakan bentuk toleransi yang dibenarkan. "Bahwa kemudiaan masyarakat Muslim dan non Muslim bahu membahu menyiapkan tempat untuk kepentingan penyembelihan hewan kurban, itu adalah masalah muamalah yang diperbolehkan," tegasnya.
Prof Niam menegaskan, masalah-masalah yang berdimensi agama berlaku ketentuan hukum sesuai Qs Al-Kafirun ayat ke-6:
لَكُمْ دِيْنُكُمْ وَلِيَ دِيْنِ
Artinya: Untukmu Agamamu, Untukku Agamaku.
Prof Niam kembali menegaskan, salam yang bersifat Assalamualaikum Warahmatullahi Wabarakatuh itu berdimensi keagamaan atau ibadah. Di dalam salam tersebut, ada doa, bahkan doa tersebut pun diajarkan oleh Rasulullah SAW dan dikaitkan dengan hukum.
"Hukumnya apa? Menjawab salam setiap Muslim hukumnya wajib. Artinya, disitu ada masalah keagamaan yang berdimensi ubudiyah," paparnya.
Oleh karena itu, Pengasuh Pondok Pesantren An-Nahdlah, Depok, Jawa Barat ini mengatakan, untuk salam yang bersifat khusus, makna toleransi itu masing-masing tidak perlu ada mencampuradukkan.
"Mencampuradukkan salam yang bersifat khas keagamaan sebagai bagian doa khusus, menjadi satu kesatuan. Bukan makna toleransi yang dibenarkan dalam konteks keislaman," tegasnya.
Menurutnya, hal itu yang harus dipahami oleh publik terkait fatwa haram salam lintas agama. Tetapi, salam yang bersifat umum, seperti mendoakan kesehatan 'Salam sehat bos, mudah-mudahan terus sehat' itu diperbolehkan.
"Apakah itu terlarang? Tidak. Karena itu bagian dari yang bersifat muamalah, ini yang perlu dipahami. Gak bisa juga disalahartikan, seolah-olah dengan keputusan ini dinilai Anti Pancasila, anti keberagaman, dan lain sebagainya," tegasnya.
Prof Ni'am juga membantah ada yang beranggapan bahwa Indonesia sudah terbiasa dengan keragaman dengan mengucapkan salam lintas agama. Prof Ni'am menegaskan, hal itu tidak sesuai dengan sejarah.
"Ini beberapa waktu lalu, kita bisa melihat, Bung Karno sebagai pendiri bangsa ini sekaligus proklamator, masih ada jejaknya salamnya bagaimana dan lain sebagainya," ungkapnya.
Prof Ni'am menekankan, hal inilah yang harus dipahami secara utuh, dan didudukkan secara proporsional. Bahkan, di dalam Hasil Keputusan Ijtima Ulama Komisi Fatwa se-Indonesia VIII ditegaskan dalam sebuah item tersendiri bahwa haram haram mengejek-ngejek, mengolok-ngolok, dan merendahkan ajaran agama lain.
"Sekalipun nadanya guyon. Misalnya beberapa waktu lalu ada guyonin sholat, guyonan zakat, guyonan tuhannya kristiani itu tidak dibenarkan, dan itu berpotensi penodaan agama, siapapun pelakunya," tegasnya. (Sadam/Azhar)
Tags: Ijtima Ulama, Salam Lintas Agama