PERTANYAAN
Penanya: FADLY BOSNI
Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh, Perkenalkan saya Fadly Bosni dari Bogor. Saya ingin bertanya terkait Zakat penghasilan. Saya sudah bekerja selama 3 tahun, sampai saat ini saya baru tau ada zakat penghasilan. sehingga saya belum pernah menunaikan zakat tersebut. Saya mencoba mencari referensi zakat penghasilan tersebut namun ada beberapa pendapat kalau gaji yang disetahunkan tidak bisa disamakan dengan zakat ma'al (setara dengan 85 gram emas selama satu tahun). Sehingga saya ingin bertanya sebagai berikut: 1)Apakah fatwa MUI nomor 3 tahun 2003 masih valid sampai sekarang? 2)bagaimana cara saya menghitung nisab di tahun 2020 3)apakah saya bisa bayar zakat penghasilan tahun-tahun sebelumnya di tahun ini? dan caranya?

JAWABAN
Penjawab: MUI
Wa’alaikumsalam Wr. Wb
Terima kasih kepada penanya budiman, Sahabat Fadly Bosni dari kota Bogor. Semoga diberkahi Allah SWT. Sebagaimana pertanyaan yang disampaikan, maka dengan ini kami menjawab:
1. Fatwa MUI Nomor 3 tahun 2003 tentang “Zakat Pengahasilan” sampai saat ini masih berlaku dan bisa dijadikan rujukan umat muslim, khusus di Indonesia. Karena sampai saat ini belum dinasakh (dihapus). Dalam fatwa tersebut, dijelaskan :
bahwa yang disebut penghasilan adalah setiap pendapatan seperti gaji, honorarium, upah, jasa, dan lain-lain yang diperoleh dengan cara halal baik maupun tidak rutin seperti dokter, pengacara, dokter, konsultan dan sejenisnya, serta pendapatan lain yang diperoleh dari pekerjaan bebas lainya.
Semua bentuk penghasilan halal wajib dikeluarkan zakatnya dengan syarat telah mencapai nisab dalam satu tahun, yaitu 85 gram mas.
Zakat penghasilan dapat dikeluarkan pada saat menerima jika sudah cukup nishab. Apabila belum tidak mencapai nishab, maka semua penghasilan dikumpulkan selama 1 tahun; kemudian zakat dikeluarkan, apabila penghasilan beresihnya sudah cukup nishab. 
2. Zakat yang belum ditunaikan di masa lampau, dianggap sebagai hutang dan wajib dizakati sebagai qadha. Hal itu disamakan pada kewajiban sholat dan puasa. Sebagaiamana sabda Nabi Muhammad SAW yang diriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas 
فدَينُ اللَّهِ أحقُّ أن يُقضَى

“Utang kepada Allah lebih berhak untuk ditunaikan.”(HR. Bukhari, no. 1953 dan Muslim, no. 1148
Dalam madzhab syafi’i sebuah redaksi terkait hukum keterlambatan mengeluarkan zakat fitrah :
وَلَا يَجُوزُ تَأْخِيرُهَا عَنْ يَوْمِ الْفِطْرِ فَاِنْ أَخَّرَهَا أَثِمَ وَلَزِمَهُ الْقَضَاءُ 
“Dan tidak boleh mengakhirkan zakat fitrah sampai melewati hari raya Idul Fitri, karenanya jika seseorang mengakhirkannya maka ia berdosa dan wajib mengqadlanya” (Abu Ishaq as-Syirazi, at-Tanbih fi Fiqh asy-Syafi’i, Bairut-Alam al-Kutub, 1403 H, h. 61)
  وَيَجِبُ الْقَضَاءُ فَوْرًا لِعِصْيَانِهِ بِالتَّأْخِيرِ وَمِنْهُ يُؤْخَذُ أَنَّهُ لَوْ لَمْ يَعْصِ بِهِ لِنَحْوِ نِسْيَانٍ لَا يَلْزَمُهُ الْفَوْرُ 
“Dan wajib mengqadla (bagi orang yang mengakhirkan pembayaran zakat fitrah sampai melebihi hari raya Idul Fitri, pent) dengan segera karena kesalahannya (maksiat) dengan melakukan pengakhiran tersebut. Dan dari sini juga dapat dipahami bahwa seandainya pengakhiran tersebut bukan karena kesalahan yang sengaja dibuat seperti karena lupa maka tidak harus segera mengqadlanya” (Ibnu Hajar al-Haitsami, Tuhfah al-Muhtaj ila Syarh al-Minhaj, Mesir al-Maktabah at-Tijariyah al-Kubra, 1357 H/1983 M, juz, 4, h. 381)

Dengan demikian penghasilan yang dimiliki oleh sahabat Fadly Bosni, pada tahun 2020- sampai tahun 2023, yang belum dizakati akibiat ketidaktahuan (jahl) adalah wajib dizakati, dengan catatan mengetahui secara pasti atau mencatat seluruh penghasilan harta benda yang wajib di zakati di masa lalu. Dalam keadaan demikian hal yang wajib dizakatinya adalah persentase yang wajib dikeluarkan atas nama zakat dibandingkan dengan jumlah penghasilan harta benda yang dimiliki. Sedangkan apabila tidak mengetahui secara pasti harta benda yang telah dimilikinya di masa lalu yang wajib untuk dizakati, maka yang wajib dibayar adalah hitungan yang diyakini , sesuai dengan kaedah al-akhdzu bil mutayaqqan (berpijak pada sesuatu yang diyakininya). Lihat Syekh Jalaluddin As-Suyuthi dalam kitab Al-Asybah wan Nazha’ir, halaman 55:

ومنها عليه دين وشك في قدره لزمه إخراج القدر المتيقن كما قطع به الإمام إلا أن تشتغل ذمته بالأصل فلا يبرأ إلا مما تيقن أداءه كما لو نسي صلاة من الخمس تلزمه الخمس ولو كان عليه زكاة بقرة وشاة وأخرج أحدهما وشك فيه وجبا قاله ابن عبدالسلام قياسا على الصلاة وصرح به القفال في فتاويه فقال لو كانت له أموال من الإبل والبقر والغنم وشك في أن عليه كلها أو بعضها لزمه زكاة الكل لأن الأصل بقاء زكاته. 

 “Sebagian dari cabang permasalahan kaidah ini adalah ketika seseorang memiliki tanggungan dan ia ragu dalam kadar tanggungan itu maka wajib baginya untuk membayar kadar tanggungan yang diyakininya, seperti halnya ketentuan hukum yang telah dipastikan oleh Imam Haramain. Kecuali ketika tanggugan tersebut bersinggungan dengan hukum asal maka tidak akan terbebas kecuali dengan melakukan sesuatu yang diyakini akan membebaskan tanggungannya, seperti halnya ketika seseorang lupa melakukan salah satu shalat dari kelima shalat fardhu, maka wajib baginya untuk melaksanakan kelima shalat tersebut. Permasalahan lain ketika seseorang memiliki tanggungan zakat sapi dan kambing, lalu ia membayar zakat salah satu dari keduanya dan ia ragu hewan mana yang belum dizakati, maka wajib baginya membayar zakat untuk keduanya. Hal tersebut seperti yang diungkapkan oleh imam Ibnu Abdis Salam dengan menganalogikan permasalahan tersebut pada permasalahan shalat. Hal ini juga dijelaskan oleh Imam Qaffal dalam himpunan fatwanya. Lalu ia berkata, ‘Jika seseorang memiliki harta benda berupa onta, sapi, dan kambing dan ia ragu apakah zakat yang wajib baginya adalah seluruh jenis hewan tersebut atau hanya sebagian saja, maka wajib baginya untuk menzakati keseluruhan jenis hewan, sebab hukum asal dalam permasalahan ini adalah tetapnya zakat keseluruhannya,” .
3. Semua bentuk penghasilan halal, wajib dikeluarkan zakatnya dengan syarat telah mencapai nisab dalam satu tahun, yaitu 85 gram mas. Dan zakat penghasilan dapat dikeluarkan pada saat menerima jika sudah cukup nishab. Apabila tidak mencapai nishab, maka semua penghasilan dikumpulkan selama 1 tahun; kemudian zakatnya dikeluarkan, apabila penghasilan beresihnya sudah cukup nishab. (Lihat Lengkapnya Fatwa MUI Fatwa MUI Nomor 3 tahun 2003)

Wallahu’alam bishowab
[KH. Romli]