Kitab Turjuman Al-Mustafid, Tafsir Alquran Berbahasa Melayu Pertama

Kitab Turjuman Al-Mustafid, Tafsir Alquran Berbahasa Melayu Pertama

16/10/2023 22:09 AZHARUN N


Oleh KH Musthafa Helmy, Wakil Ketua Komisi LBPKI MUI 

JAKARTA, MUI.OR.ID- Menelusuri karya-karya ulama Nusantara tidak akan bisa lepas dengan peran Syekh Abdur Rauf bin Ali al-Fanshuri al-Jawi atau dikenal dengan sebutan Syekh Abdur Rauf Singkil alias Syiah Kuala (1615-1693). 

Dalam sejarah literasi kita, nama Syiah Kuala tercatat sebagai penulis pertama karya tafsir bahasa Melayu dan ulama yang memperkenalkan tentang tafsir bernama Turjuman al-Mustafid.


Kitab ini meskipun telah berusia 300 tahun lebih namun kenyataannya masih ada menjual. Sebuah toko buku di Aceh menjual buku ini dengan harga Rp 310 ribu. 

Kitab setebal 624 halaman dalam dua jilid itu ternyata masih memiliki penggemar. Bisa jadi sebagai bahan studi, kajian, hingga untuk memperdalam tafsir klasik yang ditulis oleh seorang ulama yang ikhlas tiga abad lalu.

Dalam judul kitabnya, Syiah Kuala menyebut bahwa kitab Turjuman al-Mustafid ini merupakan terjemahan dari kitab Anwar at-Tanzil wa Asrar at-Takwil karya Imam Al-Qadli Nashiruddin bin Abi Said Abdullah bin Umar bin Muhammad As-Sayrazi Al-Baidlawi. 

Tafsir al-Baidlawi sendiri terdiri dari enam jilid dan 1.308 halaman. Tafsir Al-Baidlawi termasuk tafsir populer yang ditulis ulama asal Persia abad 13 Masehi atau abad ketujuh Hijri.
Karya Turjuman al-Mustafid menjadi magnum opus Syiah Kuala disamping 21 karya lainnya baik yang ditulis dalam bahasa Arab atau Melayu dengan aksara Arab dengan berbagai disiplin, tentu dengan penonjolan tasawuf.

Tafsir Melayu pertama
Kitab Turjuman al-Mustafid merupakan tafsir yang ditulis dalam bahasa Melayu dengan menggunaan aksara Arab Pegon sehingga ia disebut dan dikenal sebagai tafsir pertama terlengkap di Nusantara.

Meskipun Syekh Abdur Rauf menyebut bahwa tafsirnya merupakan terjemahan dari tafsir al-Baidhawi, namun menurut beberapa ahli tak sepenuhnya betul. Walaupun bisa kita pahami bahwa karya tafsir itu sepenuhnya diilhami karya tafsir abad ke 13 itu.

Hal ini diungkapkan orientalis Snouck Hurgronje dan diikuti dua sarjana lainnya dari Belanda: Rinkes dan Voorhoeve. Bahkan, menurut tiga orientalis ini, banyak kutipan dan penafsiran yang sebenarnya banyak diambil dari Tafsir al-Jalalain. 

Al-Baidlawi wafat pada 691 H atau 1292 M. Sementara Jalain ditulis Imam Jalaluddin al-Mahalli yang wafat pada 863 H atau 1459 M dan diteruskan Imam Jalaludin As-Suyuthi wafat tahun 910 H atau 1505 M. 

Dia juga mengutip Tafsir Lubab at-Takwil fi Ma’anit Tanzil karya Syekh Ali bin Muhammad bin Ibrahim Aluddin Al-Khazin, atau populer disebut dengan Tafsir Al-Khazin (wafat tahun 741 H atau 1341 M).

Berdasarkan beberapa pandangan tersebut dapat dikatakan bahwa Tafsir Tarjuman al-Mustafid merupakan terjemahan dari beberapa tafsir dengan sebagian besar dari Al-Baidhawi, Tafsir Jalalain, dan tafsir-tafsir lainnya. 

Dan sangat wajar bagi ulama kemudian banyak mengutip dan memperkaya tafsirnya dengan mengutip tafsir-tafsir pendahulunya.

Kalau kita membandingkan karya ini dengan karya al-Baidlawi sendiri, meski diakui sendiri oleh pengarangnya (baca penterjemahnya), namun tak selamanya sama. Bisa disimpulkan bahwa Syiah Kuala hanya mengambil ide pokok dan yang dianggapnya penting.

Sesuai dengan metode penulisannya, Tafsir Tarjuman al-Mustafid
memiliki bentuk dan teknik penulisannya tersendiri yang berbeda
dengan tafsir yang lainnya. 

Secara umum tafsir ini menerapkan metode tahlili yaitu menafsirkan Alquran dengan menjelaskan aspek-aspek yang dikandung oleh ayat yang ditafsirkan secara luas dan rinci, seperti penjelasan kosa kata, latar belakang turunnya ayat (asbabun nuzul), nasikh-mansukh dan munasabat.

Dalam tafsir ini Syiah Kuala menjelaskan ayat-ayat secara berurutan, kemudian menjelaskan maknanya secara harfiyah dan menjelaskan aspek-aspek yang dikandung ayat yang ditafsirkannya itu, menjelaskan asbabun nuzul serta penjelasan tentang bacaan para imam qiraat. Dalam memulai menafsirkan suatu surat, terlebih dahulu ia memberi penjelasan mengenai surat yang akan dibahas.

Keterangan awal ini mencakup jumlah ayat, tempat turun apakah Makki atau Madani dan keutamaan surat tersebut, sebab diturunkan surat atau ayat tersebut, kemudian korelasi antar ayat dengan qisah-qisah sebelumnya, serta dilengkapi dengan uraian bacaan para imam qiraat.

Penjelasan-penjelasan tersebut di lengkapi dengan tanda-tanda atau kodenya tersendiri. Untuk menjelaskan tentang qiraat biasanya diberi tanda dengan “faidah” didalam kurung. Sedangkan kata Al-Qisah dalam kurung berfungsi sebagai tanda penjelasan tentang asbab al-nuzul.

Syiah Kuala menggunakan penafsiran secara umum, tidak mengacu pada satu corak tertentu, seperti fiqih, filsafat, dan lainnya. Namun tafsirnya mencakup berbagai corak sesuai dengan kandungan ayat yang ditafsirkan. 

Jika sampai pada ayat yang membicarakan hukum fiqih, ia mengungkapkan hukum-hukum fiqih, dan jika sampai pada ayat tentang teologi, pembahasan keyakinan tentang akidah mendapat porsi yang cukup, dan seterusnya.

Hal ini disebabkan Syiah Kuala adalah ulama yang memiliki keahlian dalam berbagai bidang baik ilmu bahkan politik. Menurut Ali Hasjmy dalam buku ‘59 Tahun Aceh Merdeka di bawah Pemerintah para Ratu’ (Jakarta: Bulan Bintang, 1977), tafsir ini disusun pada masa pemerintahan Safiatuddin.

Karya perpaduan
Kalau kita telaah lebih jauh, Syiah Kuala membuat tafsir sendiri, bukan menterjemahkan tafsir Al-Baidlawi, seperti yang diakuinya. Atau sebagai cara meredah hati, atau mukhtashar (ringkasan). Ia mengambil pijakan dari tafsir Al-Baidlawi namun ia kemudian bebas menyadur dan mengutip sejumlah tafsir lainnya. Hal semacam ini adalah sah dan biasa dilakukan para penafsir lainnya.

Al-Baidhawi sendiri, menurut pentahqiq karya yang diterbitkan Darus Rasyid Damaskus dan Muassasah Al -Iman Beirut, tahun1421 H/ 2000M, Muhammad Subhi bin Hasan Hallaq dan Dr Mahmud Ahmad Al-Atrasy, banyak mengutip Al-Kasyaf karya Imam Zamakhsyari (ulama abad kelima Hijriyah) dengan membuang panafsiran yang berbau muktazilah. Al-Baidhawi terkenal sebagai ulama bermazhab Syafi’i dan pengikut teologi Asy’ariyah.

Syekh juga tak menulis pengantar tafsir seperti jamaknya pengarang lainnya. Padahal, Al-Baidlawi memberi pengantar atas tafsirnya ini hampir satu halaman penuh. Di sini ia menguraikan motif membuat tafsir. Suatu yang sama, baik Al-Baidhawi dan Syiah Kuala memulai dulu dengan faidah dan keutamaan surah yang akan dibahas dan dikajinya.

Misalnya ketika mengawali menafsirkan surat Al-Fatihah keduanya menyebut sebagai surah asy-syafiyah (penyembuh). Dalam memulai menafsirkan surah Al-Fatihah, Al-Baidlawi memulai dengan beberapa perbedaan pendapat tentang kedudukan basmalah dalam surah Al-Fatihah.

Kalangan ulama Makkah, Kuifah, Ibnu Mubarak dan Imam Syafi’i menganggap basmalah sebagai bagian dari surah Al-Fatihah disertai beberapa dalil. Sementara itu ulama Madinah, Basyrah, Syam (Suriah dan sekitarnya), Imam Malik dan Awzai tak memasukannya sebagai bagian Al-Fatihah. Syiah Kuala tak memasukkan perbedaan pendapat tentang kedudukan basmalah dalam surat al-Fatihah meski menjelaskan tujuh macam qiraat dengan perawinya.

Namun, dalam memberi tafsir penjelasan ayat maliki yawmiddin (ayat keempat surat al-Fatihah) Imam Baidlawi menjelaskan adanya beberapa perbedaan bacaan para imam qiraat. 

Yaitu antara membaca maliki dengan ma dibaca panjang dan ada sebagian yang membacanya dengan pendek. Imam Baidlawi memilikh ini. Al-Kisai, ‘Ashim dan Ya’qub membacanya dengan ma panjang, yang dipilih Syiah Kuala.

Sebagai perbandingan, dalam menafsirkan surah al-Fatihah Imam Baidlawi menuliskan tafsirnya dalam delapan halaman. Sementara Syekh Abdur Rauf hanya menuliskannya dalam satu halaman penuh.

Turjuman al-Mutafid edisi cetakan 1951 Mesir ditashih Syekh Idris al-Marbawi (penulis Kamus Al-Marbawi, kamus Arab-Melayu pertama) asal Malaysia dan dibaca ulang (muraja’ah) oleh ulama ahli Alquran asal Mesir Syekh Ali Muhammad Al-Ghayagh. Kitab yang kami miliki adalah versi digital koleksi Universitas Kolumbia, AS, (kerjasama dengn The Library Congress, AS) dengan nomor 75-960410.

Tafsir ini dibaca dan dikoleksi di kalangan komunitas Melayu Afrika Selatan. Di Istanbul tafsir ini diterbitkan oleh Mathba’ah Al-‘Ustmaniyyah pada tahun 1302/ 1884 dan juga pada 1324/1906. Di Kairo diterbitkan oleh Sulaiman Al-Maraghi, serta di Makkah di terbitkan oleh Al-Amiriyyah. 

Sedangkan edisi terakhir diterbitkan di Jakarta pada 1981. Hal ini menunjukkan karya tersebut masih dipergunakan kaum Muslimin Nusantara. (ed, Nashih) 

Tags: Turjuman al-mustafid, kitab tafsir pertama, kitab tafsir melayu pertama, kitab tafsir turjuman al-mustafid, kitab tafsir, tafsir alquran