Upaya Menghentikan Genosida Gaza, Apa dan Bagaimana?

Upaya Menghentikan Genosida Gaza, Apa dan Bagaimana?

12/05/2025 21:49 ADMIN

Foto: freepik 

Oleh: Ustadz DR Yanuardi Syukur, pengurus Komisi Hubungan Luar Negeri dan Kerjasama Internasional MUI

JAKARTA, MUI.OR.ID— Selama lebih dari setahun, dunia telah menyaksikan tingkat kematian dan kehancuran yang luar biasa
di Jalur Gaza. Serangan brutal-sistematis Israel terhadap warga Gaza telah menewaskan lebih 50 ribu orang, memaksa pengungsian massal yang lebih parah dari nakba (malapetaka) pengusiran 750 ribu warga Palestina pada 1948—termasuk kerusakan infrastruktur dan lingkungan.

Singkatnya, Israel telah menyebabkan apa yang disebut Amnesty International sebagai ‘genosida yang disiarkan langsung’ (live-streamed genocide) yang berimplikasi pada destruksi yang tidak mudah diperbaiki. Islam melarang dengan tegas perbuatan merusak di muka bumi. Allah SWT berfirman:

وَلَا تُفْسِدُوا فِي الْأَرْضِ بَعْدَ إِصْلَاحِهَا وَادْعُوهُ خَوْفًا وَطَمَعًا ۚ إِنَّ رَحْمَتَ اللَّهِ قَرِيبٌ مِنَ الْمُحْسِنِينَ

“Dan janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi, sesudah (Allah) memperbaikinya dan berdoalah kepada-Nya
dengan rasa takut (tidak akan diterima) dan harapan (akan dikabulkan). Sesungguhnya rahmat Allah amat dekat kepada orang-orang yang berbuat baik.” (QS Al-A'raf: 56)

Menurut Tafsir Al-Muyassar, ayat tersebut berarti larangan melakukan perbuatan kerusakan di muka bumi dengan cara apapun dari macam-macam kerusakan, setelah Allah memperbaikinya dengan pengutusan para rasul dan memakmurkannya dengan amal ketaatan kepada-Nya.

Sedangkan menurut Tafsir Al-Wajiz, kerusakan yang dimaksud adalah perbuatan syirik dan maksiat. Apa yang dilakukan oleh Israel di Gaza telah merusak banyak hal, termasuk lingkungan (ekosida) dan juga manusia (genosida). Untuk itu, dibutuhkan berbagai cara agar genosida tersebut dapat dihentikan. Terkait penghentian genosida, ada dua hal yang patut diperhatikan secara global.

Pertama, perlunya sanksi internasional yang tegas, solid dan berkesinambungan terhadap Israel hingga Israel menghentikan kejahatannya.

Sanksi internasional adalah tindakan yang diberlakukan oleh satu atau beberapa negara, organisasi internasional dan regional seperti PBB atau Uni Eropa untuk menjaga perdamaian dan keamanan atau untuk menghukum perilaku yang dianggap tidak sah di kancah internasional (Matelly, 2024).

Tindakan tersebut dapat bersifat ekonomi, diplomatik, militer, atau simbolis seperti pembekuan aset, embargo senjata, pemutusan kerja sama dagang dan diplomasi. Dalam pandangan saya, sanksi tersebut sebaiknya tidak hanya berhenti sebagai state policy, tapi juga sebagai personal choice masyarakat dunia yang anti-penjajahan Israel atas Palestina—untuk misalnya melakukan boikot terhadap produk Israel atau yang terafiliasi dengannya.

Terkait pembekuan aset, Pemerintah Jepang pernah membekukan aset empat pemukim Israel, yakni Yinon Levi (Yinon Levy), Zvi Bar Yosef, Moshe Sharvit dan Neriya Ben Pazi yang terlibat dalam aksi kekerasan 23 Juli 2024 di Tepi Barat. Pembekuan tersebut di mata Jepang adalah bentuk ‘kontribusi untuk mencapai perdamaian internasional’ (mofa.go.jp, 23/7/2024). Beberapa negara—seperti Amerika Serikat, Australia, Inggris, Prancis, Kanada dan termasuk Uni Eropa—juga telah mengenakan sanksi serupa, akan tetapi masih ‘setengah hati’. Padahal mereka bisa memperluas sanksinya pada politisi dan entitas pemerintah yang bertindak lebih parah dan destruktif.

Sejak 7 Oktober 2023, beberapa negara seperti Italia, Jepang, Spanyol, Kanada, Kolombia, Belanda Belgia telah menghentikan penjualan senjata ke Israel. Presiden Amerika Serikat Joe Biden pernah bersikap kritis kepada Israel, bahkan memperingatkan terkait ‘penghentian pengiriman senjata Amerika ke Israel kecuali situasi kemanusiaan di Gaza telah membaik’; akan tetapi, seperti ditulis John Hudson di Washington Post (29/3/2024), “Despite a widening rift with the Israeli government, the Biden administration continues to authorize the transfer of 2,000-pound bombs and other weapons.”

Transfer senjata Amerika Serikat ke ‘sekutu utama non-NATO’ tersebut tetap berjalan sebagai business as usual—yakni tetap terkirim bom seberat 2.000 pon dan berbagai senjata lainnya. Sikap double standard tersebut sejak lama disesalkan masyarakat dunia, padahal Amerika Serikat—sebagai kampium demokrasi dan ‘pemimpin dunia’—harusnya bersikap lebih moderat dan merangkul semua.

Menurut dua penulis China, Yin Zihan dan Kacee Ting Wong di China Daily (7/1/2025), sikap double standard tersebut menunjukkan adanya kekeliruan logika yang mengarah pada sikap tidak adil (atau melihat melihat dengan tidak setara) dan menilai sesuatu secara tidak konsisten. Secara praktis sikap itu akan melemahkan kredibilitas Amerika Serikat di pentas global.

Melihat dampak ‘catastropic event’, yakni krisis parah di Gaza seharusnya menyentuh hati dan pikiran pemimpin tertinggi Amerika Serikat saat ini, Presiden Trump untuk lebih humanis, empatik, menghentikan pasokan senjata tersebut dan memperjuangkan two-state solution. Gagasan ‘perdamaian, bukan apartheid’ bagi Palestina dari Presiden Amerika Serikat ke-39 (1977-1981) Jimmy Carter patut diperhatikan.

Bukunya, Palestine: Peace Not Apartheid (Simon & Chuster, 2006), layak menjadi pijakan bagi Trump dalam kebijakannya di Timur Tengah. Dunia sebenarnya berharap banyak pada Trump agar implementasi peace plan-nya yang ‘damai dan sejahtera bagi Palestina dan Israel’ dapat terwujud berkeadilan—tidak berat sebelah—sekaligus mengupayakan perjanjian perdamaian komprehensif (comprehensive peace agreement) dan perdamaian permanen (permanent peace) di Timur Tengah.

Sebagai sanksi terhadap Israel, hingga saat ini ada sebelas negara—yakni Yordania, Bahrain, Turki, Bolivia, Kolombia, Honduras, Chili, Belize, Brasil, Afrika Selatan, dan Chad—yang mengambil langkah drastis dengan menarik duta besar mereka atau memutuskan hubungan diplomatik dengan Israel. Fakta itu menunjukkan bahwa Israel sedang mengalami ‘keterkucilan diplomatik’ kecuali mereka mau melakukan gencatan senjata permanen (permanent cease-fire) di Gaza (New York Times, 3/5/2024).

Demi national interest-nya, yakni aman-damai dari ‘serangan tujuh front’ sekitar Israel, pembangunan jalur kereta api, dan pipa gas yang menghubungkan Asia-Eropa (sebagaimana pidato Netanyahu di Majelis Umum PBB, 27 September 2024)—termasuk implementasi Abraham Accord—Israel harusnya berfokus dan konsisten pada permanent cease-fire dan mendorong two-state solution yang harus berkeadilan.

Sejenak, kita bisa belajar dari kasus apartheid Afrika Selatan dimana tekanan sistemik dari negara-negara dan lembaga internasional dapat memaksa terjadinya perubahan kebijakan. Saat itu, Afrika Selatan diembargo secara militer, ekonomi, dan sosial agar mengakhiri apartheid, sistem pemisahan rasial sejak tahun 1948. Kehadiran gerakan anti-apartheid secara global saat itu juga berkontribusi efektif mengisolasi sekaligus menekan rezim tersebut untuk reformasi politik dan mengakhiri sistem apartheid.

Saat ini, ketergantungan Israel pada ekspor teknologi dan bantuan asing adalah kesempatan untuk memaksa Israel menghentikan kejahatannya. Dalam kasus kebakaran hutan di dekat Yerusalem baru-baru ini (30/4/2025), Israel menunjukkan kepanikan dan menyebut kejadian itu sebagai ‘darurat nasional’ dan berharap bantuan belasan negara lain seperti Yunani, Cyprus, Kroasia, Italia, Bulgaria, Inggris, Prancis, Swedia, Republik Ceko, Argentina, Spanyol, Makedonia Utara, hingga Azerbaijan.

Belasan negara tersebut perlu mendesak Israel agar menghentikan perang dan membuka akses bantuan internasional, dan menghentikan tindakan apa pun yang dilarang berdasarkan Konvensi Genosida terhadap warga Palestina di Gaza, termasuk pembunuhan, menyebabkan cedera fisik atau mental yang serius.

Kedua, perlunya konsolidasi global para pendukung Palestina dari berbagai negara dan masyarakat sipil yang anti-penjajahan.

Konsolidasi tersebut dapat dilakukan oleh pendukung Palestina global yang meliputi kelompok global south yang tersebar di Asia, Afrika, dan Amerika Latin dari anggota G77 (134 negara); Gerakan Non-Blok (120 negara); negara-negara Liga Arab (22 negara), OKI (57 negara); dan negara-negara pendukung two-state solution (90 negara) yang telah membentuk Global Alliance for the Implementation of the Two-State Solution.

Sebagai komunitas baru (terbentuk sejak 26 September 2024 selama Sidang Umum PBB), Global Alliance adalah ‘upaya diplomatik penting untuk memecahkan kebuntuan dan menghidupkan kembali perundingan damai’ untuk menyatukan komunitas internasional dalam mengamankan solusi dua negara yang berkelanjutan (Al Shazly, 2024).

Berbagai kelompok tersebut diharapkan dapat membentuk blok diplomatik yang lebih tegas dan solid untuk mengutuk serta menentang tindakan genosida Israel dan mendorong solusi yang berbasis pada two-state solution. Maka, berbagai kebijakan yang tidak berpihak pada two-state solution haruslah ditolak.

Perlawanan terhadap Israel dapat dipahami sebagai semangat perlawanan terhadap dekolonisasi. Artinya, perlawanan Palestina terhadap Israel adalah sebagai ‘kelanjutan dari proses dekolonisasi’, yakni kelanjutan dari proses perjuangan terus-menerus untuk terbebas dari kolonialisme Israel, bukan sebagai gerakan terorisme. Dalam semangat dekolonisasi itu, maka negara-negara anti-kolonial haruslah bersatu untuk menekan Israel dan negara-negara pendukungnya agar menghentikan perang.

Sejarah panjang perjuangan negara-negara global south memiliki titik temu dalam konteks dukungan pada penentuan nasib sendiri (self-determination) dan kedaulatan nasional (national sovereignty), dan perlawanan terhadap kolonialisme, apartheid, dan ideologi rasis yang digunakan untuk membenarkannya. Itu merupakan inti dari solidaritas mendalam global south dalam mendukung rakyat Palestina dalam perjuangan self-determination dan menciptakan national sovereignty.

Salah satu dukungan penting kita adalah terkait ‘perspektif yang benar’ soal rekonstruksi bahwa rekonstruksi haruslah melibatkan warga Gaza, bukan dengan mengusir warga Gaza. Maka, rekonstruksi ala Trump tidak hanya keliru, melanggar hukum internasional, tapi juga menunjukkan kembalinya apa yang disebut seorang jurnalis, kartunis dan penulis berkebangsaan Kenya, Patrick Gathara (lahir 1972) sebagai ‘fantasi lama kaum kulit putih’ (old white fantasy) untuk bebas mengambil tanah orang lain.

Perspektif Barat yang tidak berkeadilan itu telah muncul sejak Perjanjian Alcacovas (1479), yang menetapkan prinsip bahwa suatu wilayah di luar Eropa dapat diklaim oleh suatu negara Eropa yang diikuti oleh Perjanjian Tordesillas (1494) dan Perjanjian Saragossa (1529). Kedua perjanjian terakhir itu menggerakkan Portugis dan Spanyol membagi dunia dalam pelayaran samudera dengan tujuan mencari ‘the spices island’, yakni Kepulauan Maluku yang kaya akan rempah-rempah dan memiliki nilai ekonomis tinggi dalam perdagangan saat itu.

Mengikuti pandangan Gathara—dalam perspektif orang Afrika—sebagaimana yang ditulisnya di Aljazeera (6/2/2025), historical roots tersebut terwariskan dengan jelas hingga Konferensi Berlin (1884-1885) yang dihadiri oleh colonial powers—termasuk dari Eropa dan Amerika Serikat—dan menetapkan klaim hukum, ‘… European power had an exclusive right to pursue the legal ownership of land’, yakni seluruh Afrika dapat diduduki oleh siapa pun dari bangsa Eropa yang dapat merebutnya. Faktor ekonomi (industrialisasi) menjadi pendorong kuat colonial powers untuk mendapatkan sumber daya alam yang melimpah di benua itu seperti karet, mineral dan juga kapas sekaligus untuk kepentingan ekspansi semangat kolonialisme.

Sebagai warga dunia, kita—dalam konteks negara atau personal—harus menyadari bahwa saat ini kita hidup dalam globalisasi yang merujuk pada intensifikasi keterhubungan global. Interaksi global itu ditandai dengan meningkatnya arus orang, barang, informasi, dan budaya lintas batas, yang mengarah pada dunia dengan pergerakan dan pertukaran budaya yang lebih besar.

Artinya, dalam konteks relasi antara satu dan lainnya (personal, komunitas, agama, afiliasi, atau negara) haruslah terjalin secara baik. Sebab, kita hidup dalam planet bumi dengan berbagai global issues yang harus disikapi secara global, sebutlah climate change yang makin mengkhawatirkan bagi ekosistem dan kesehatan manusia. Maka, tidak relevan lagi bagi negara-negara Barat untuk berpijak pada ‘old white fantasy’ tersebut yang ingin seenaknya mengambil tanah orang lain.

Genosida terhadap masyarakat Gaza sejatinya adalah ‘ujian loyalitas’ (litmus test) apakah kita dapat mempromosikan dunia yang menghormati hak, martabat, dan kesetaraan semua orang dan bangsa, atau menyerah pada kredo kolonial bahwa “siapa yang kuat dialah yang benar.” Last but not least, rasa-rasanya teramat penting bagi kita semua—dalam status dan peran apapun—di negara-negara global south, GNB, OKI dan Liga Arab—atau dunia Islam secara umum—dan negara-negara pendukung two-state solution, serta Global Alliance untuk mendorong negara masing-masing agar semakin intensif menekan Israel agar segera menghentikan mesin perangnya di Gaza.

Tags: perang gaza, jalur gaza, genosida gaza, relokasi gaza, majelis ulama Indonesia