Tutup ACFS ke-9, Kiai Ni'am Sebut MUI Serap Ragam Saran dan Kritik Konstruktif Terkait Fatwa

Tutup ACFS ke-9, Kiai Ni'am Sebut MUI Serap Ragam Saran dan Kritik Konstruktif Terkait Fatwa

28/07/2025 23:29 ADMIN

JAKARTA, MUI.OR.ID—Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Bidang Fatwa Prof KH Asrorun Ni'am Sholeh secara resmi menutup kegiatan _International Annual Conferance on Fatwa MUI Studies_ (ACFS) ke-9.

Kegiatan rutin setiap tahun Komisi Fatwa MUI ini mengangkat tema: Peran Fatwa Dalam Kemaslahatan Bangsa yang digelar pada Sabtu-Senin, 26-28 Juli 2025 di Hotel Sari Pacific, Menteng, Jakarta Pusat.

Penutupan ACFS ke-9 sekaligus menjadi momen peluncuran buku Himpunan Fatwa Haji MUI oleh BPKH. Prof Ni'am, begitu akrab disapa, menegaskan peran fatwa MUI untuk kemaslahatan bangsa.

Melalui kegiatan ACFS, lanjutnya, merupakan bagian dari ikhtiar Komisi Fatwa MUI untuk terus belajar dengan mendengarkan masukan, kritikan dan evaluasi oleh para peneliti terkait fatwa yang ditetapkan oleh MUI.

Prof Ni'am menyampaikan, masukan, kritikan dan evaluasi dari para peneliti kepada Komisi Fatwa MUI sangat bermanfaat, sehingga melalui ACFS menjadi momentum bagi para peneliti menyampaikannya sesuai alamat.

"Butuh forum formal untuk menyampaikannya. Karena bisa jadi kajian penelitian yang dilakukan itu sangat bermanfaat, tetapi tidak sampai kepada alamat. Kritik yang disampaikan diibaratkan sebagai gizi," kata Prof Ni'am saat menutup ACFS ke-9, Ahad (27//7/2025) malam.

Menurut dia, apabila gizi dalam bentuk masukan, kritikan dan evaluasi dari peneliti kepada Komisi Fatwa MUI tidak sesuai alamat, khawatir menjadi masalah.

Oleh karena itu, Prof Ni'am mengatakan kegiatan ACFS ini akan terus digelar untuk mengkanalisasi semua masukan, kritikan dan evaluasi oleh para peniliti untuk perbaikan di dalam proses penetapan fatwa ke depannya.

"Kegiatan ACFS bisa menjadi forum bagi peneliti yang ditujukan untuk mengkonfirmasi sekaligus tabayun, bagaimana fatwa dirumuskan dan ditetapkan oleh Komisi Fatwa MUI dengan berbagai pertimbangan," terangnya.

Guru besar Ilmu Fikih UIN Jakarta ini menjelaskan, fatwa bersifat dinamis dan dan empirik yang basisnya dari pertanyaan yang muncul di masyarakat. Dalam konteks empirik, bisa jadi konteks ruang dan waktu mempengaruhi penerapan fatwa.

"Dalam konteks ini, butuh konfirmasi dan dipahami secara utuh kenapa ditetapkan seperti itu. Pertanyaan yang sama (bisa) menghasilkan hukum berbeda," kata Pengasuh Pondok Pesantren An-Nahdlah, Depok, Jawa Barat.

Dia menyampaikan rasa syukurnya atas berjalannya acara ACFS ke-9 dengan lancar. Prof Ni'am menambahkan, kegiatan ini juga menjadi rangkaian dari Milad Emas ke-50 MUI.

"Alhamdulillah kita terus mengikhtiarkan secara rutin satu tahun sekali (dibarengi) momentum Milad
MUI pada 26-28 Juli setiap tahunnya," ungkapnya.

Dia berharap, melalui ACFS ke-9 ini juga menjadi ajang kaderisasi agar ada kritikus akademisi yang dapat meneruskan estafet, baik di MUI Pusat, MUI Provinsi, Ormas Islam, maupun lembaga fatwa lainnya termasuk kampus-kampus.

Oleh karena itu, Prof Ni'am menegaskan bahwa peran fatwa yang ditetapkan, khusus oleh Komisi Fatwa MUI, semata-mata untuk kemaslahatan umat dan bangsa.

Sejumlah tokoh hadir dalam kegiatan ini, antara lain Kepala BPKH Fadlul Imansyah, Ketua BAZNAS RI Noor Ahmad, Ketua MK 2003-2008 Jimly Asshidiqie, Hakim Agung Mahkamah Agung Imran Rasyadi, Guru Besar Ilmu Hukum UI Heru Susetyo, Guru Besar Ekonomi Islam UIN Bandung Jaih Mubarok, Guru Besar Ushul Fiqh UIN Yogyakarta Shofiyullah Muzammil, Sekjen Fatwa Darul Ifta Mesir Syeikh Owaidlah Utsman, dan MKI Malaysia Arif Saleh Rosman.

Kegiatan ini diikuti oleh 125 orang pengkaji, akademisi, dan peneliti dari berbagai perguruan tinggi, Ma’had Aly, lembaga fatwa Ormas Islam serta pimpinan dan anggota Komisi Fatwa yang mengkaji secara khusus tentang fatwa-fatwa MUI. (Sadam, ed: Nashih)


Tags: acfs, acfs ke-9, majelis ulama indonesia, fatwa mui, mui, milad mui