
Reformasi Perbankan Syariah 2024: Peran Sentral DPS dalam Penguatan Ekosistem Keuangan
17/09/2024 18:29 JUNAIDIJAKARTA, MUI.OR.ID— Dalam upaya memperkuat sistem perbankan syariah di Indonesia, berbagai reformasi telah dilakukan melalui Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2023 tentang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (P2SK).
Salah satu aspek penting yang disorot dalam implementasi reformasi ini adalah peran Dewan Pengawas Syariah (DPS), yang semakin sentral dalam pengawasan perbankan syariah.
Hal tersebut diungkapkan oleh Direktorat Pengaturan dan Perizinan Perbankan Syariah Otoritas Jasa Keuangan (OJK), Helmi, pada hari kedua Workshop Pra-Ijtima’ Sanawi Dewan Pengawas Syariah (DPS) IX 2024.
Dalam kesempatan tersebut, Helmi menyoroti bahwa fondasi legalitas perbankan syariah di Indonesia telah dibangun sejak tahun 1992 melalui undang-undang yang terus diperkuat hingga sekarang.
"Perbankan syariah telah memiliki fondasi legal sejak tahun 1992, dan terus diperkuat dengan berbagai undang-undang, termasuk Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2023 tentang P2SK yang diterbitkan.
Namun, pengaturan perbankan syariah masih memungkinkan untuk dikembangkan lebih lanjut. Salah satu aspek yang kita dorong adalah reformasi dalam hal hak manfaat dan pengaturan kelembagaan," ungkap Helmi dalam pemaparannya, Rabu (11/9/2024) di The Bellezza Hotel, Jakarta Selatan.
Helmi menjelaskan beberapa hal utama yang direformasi melalui UU Nomor 4 Tahun 2023 tentang P2SK, salah satunya adalah terkait definisi dan lingkup perbankan syariah.
"Dalam UU Nomor 4 Tahun 2023 tentang P2SK, kami memperkuat pengaturan terkait hak manfaat. Hal ini sangat relevan bagi perbankan syariah karena hak manfaat dapat memberikan kemudahan dan kekecualian terhadap persyaratan tertentu, sehingga mengurangi risiko di masa mendatang," jelasnya.
Selain itu, reformasi juga dilakukan terhadap kelembagaan, di mana nomenklatur Bank Pembiayaan Rakyat Syariah (BPRS) diubah menjadi Bank Perekonomian Rakyat Syariah. Perubahan ini diharapkan dapat meningkatkan peran BPRS dalam mendukung perekonomian masyarakat.
“Perubahan nomenklatur ini bukan hanya sekadar permainan kata-kata, tetapi merupakan langkah strategis untuk memperluas kegiatan usaha BPRS agar lebih berperan dalam membangun perekonomian.
Harapannya, BPRS dapat memberikan kontribusi yang lebih besar kepada masyarakat,” tambah Helmi.
Salah satu poin penting yang dibahas dalam UU Nomor 4 Tahun 2023 tentang P2SK adalah perubahan posisi DPS.
Sebelumnya, DPS diposisikan sebagai pihak afiliasi yang memberikan jasa konsultasi. Namun, dengan reformasi yang ada, peran DPS kini lebih strategis, setara dengan Dewan Komisaris dan Direksi dalam hal pengambilan keputusan penting.
“Dengan reposisi ini, DPS tidak lagi hanya terfokus pada hal-hal teknis, tetapi juga dilibatkan dalam pengambilan keputusan strategis di perbankan syariah. Hal ini diatur dalam POJK tentang Tata Kelola Syariah yang sedang dalam penyusunan. Peran DPS kini lebih sentral dalam menjaga kepatuhan dan pengembangan perbankan syariah,” ujar Helmi.
Helmi juga menyoroti pengaturan terkait badan hukum DPS yang telah diatur dalam UU Cipta Kerja dan kini diperkuat dalam UU NO 4 2023 tentang P2SK.
Selain itu, salah satu inovasi baru yang diperkenalkan adalah penggabungan Lembaga Keuangan Mikro (LKM) dengan BPRS, yang diharapkan dapat meningkatkan efisiensi operasional dan peran sosial BPRS.
“Penggabungan antara LKM dan BPRS ini diharapkan dapat memberikan dampak positif bagi pengembangan perbankan syariah, terutama dalam hal inklusi keuangan. Saat ini, kami sedang menyusun ketentuan teknis terkait penggabungan ini,” kata dia menambahkan. (Latifahtul Jannah, ed: Nashih)
Tags: dewan pengawas syariah, peran dps, dps bank syariah, dps pembiayaan syariah, perbankan syariah, ekonomi syariah, kedudukan dps, regulasi dps