
Memperjuangkan Nilai-Nilai Kemanusiaan Masyarakat Gaza
12/12/2023 13:42 JUNAIDI
Oleh : Mujahidin Nur Lc MA, anggota Komisi Infokom MUI. Direktur Peace Literacy Institute Indonesia, Jakarta
Konflik berkepanjangan antara Israel dan Palestina telah meluluhlantakkan menara babel (migdael babel) humanisme abad 21. Barat yang selama ini getol mengkampanyekan kemanusiaan dalam konflik Israel dan Palestina Barat pula yang terdepan mengkhianati nilai-nilai kemanusiaan.
Di tengah tragedi kemanusiaan di Palestina elit-elit politisi Amerika dan Eropa alih-alih mengutuk malah mendukung aksi kolonialisme dan tindakan tak berperikemanusiaan yang dilakukan zionis Israel terhadap masyarakat Palestina.
Bahkan para filsuf Barat juga ramai-ramai berusaha mencarikan argumentasi pembenaran pembunuhan yang dilakukan oleh Israel, seperti dilakukan salah satunya oleh Bernard-Henri Levy, filsuf Yahudi berkebangsaan Perancis yang dikenal dengan gerakan Nouveaux Philosopes.
Prancis bersama Jerman, Inggris, dan Amerika adalah negara-negara yang konon pionir dalam mencetuskan ide-ide pencerahan (enlightenment). Namun mereka pula yang pertama kali mengkhianatinya. Suara 124 negara di PBB mendesak gencatan senjata Israel dan Palestina. Tetapi, suara mayoritas tersebut dianggap angin lalu, dan Amerika terus mengirimkan persenjataan lengkap ke wilayah Timur Tengah, untuk mendukung Israel.
Humanisme Barat telah runtuh dan menjadi bangkai busuk bersamaan dengan kematian warga sipil Palestina. Kementerian Kesehatan Palestina mengatakan serangan Israel ke kantong pemukiman padat penduduk itu sudah menewaskan 17.177 orang Palestina dan melukai sekitar 46 ribu orang lainnya.
Sementara itu, pasukan Israel telah menewaskan sedikitnya 266 orang di daerah pendudukan Tepi Barat, dan melukai sekitar 3.365 orang lainnya.
Ambivalensi humanisme Barat dalam kasus konflik Israel-Palestina ini memberikan pelajaran berharga bahwa dunia sedang balik arah. Perang Dunia III dimulai dengan lebih dahulu membunuh nilai-nilai kemanusiaan universal. Seruan-seruan kemanusiaan yang digaungkan oleh warga negara di seluruh dunia dianggap sebagai suara sumbang yang tidak penting untuk didengarkan.
Dengan demikian, mengakhiri konflik Israel-Palestina semakin menempuh jalan menanjak dan terjal. Arogansi Barat semakin sulit untuk dihentikan, karena sudah tidak ada lagi standar universal yang bisa dijadikan pegangan bersama. Negara-negara Barat sudah tidak mempedulikan lagi rekomendasi konstruktif baik dari PBB, OKI (Organisasi Konfrensi Islam), Amnesti Internasional, dan warga sipil dunia.
Mengentaskan Kelaparan
Di tengah reruntuhan puing-puing nilai kemanusiaan, perhatian global harus segera diperluas, dari peristiwa perang ke dampaknya. Perang memang membunuh jiwa-jiwa yang tidak bersalah, namun menyelamatkan nyawa orang yang masih hidup tidak kalah pentingnya. Mereka yang masih hidup sebagai pengungsi terancaman keselamatan jiwanya termasuk terancam kelaparan.
Para pengungsi yang berjumlah jutaan itu hari ini berlindung di rumah-rumah sakit, walaupun tentara Israel terus memaksa agar para dokter dan rumah sakit memindahkan pasien ke wilayah Utara yang relatif "aman" dalam kacamata Israel, tetapi menjadi neraka bagi warga Gaza sendiri, karena tidak ada listrik, saluran air juga tidak ada peralatan medis.
Rumah Sakit itu sendiri bukan tempat mencari hidup, tetapi tempat menjaga hidup dari ancaman kematian. Di rumah sakit tidak ada fasilitas untuk menjaga kelangsungan hidup, sementara para pengungsi tidak saja kehilangan rumah melainkan juga mata pencaharian. Di sinilah, warga Palestina yang masih hidup terancam kelaparan.
Menurut Organisasi Pangan dan Pertanian (FAO) PBB, pada 2023 ini, lebih dari seperempat populasi Palestina terancam kelaparan. Dalam satu dekade terakhir, krisis kemanusiaan berdampak langsung pada persoalan mata pencaharian para petani, nelayan, dan peternak untuk menjalankan pekerjaan untuk menyambung hidup.
FAO memperkirakan, bantuan-bantuan bahan pokok dasar akan menolong warga Palestina dari ancaman kelaparan dan memulihkan optimisme kelangsungan hidup mereka. FAO mencontohkan, setiap USD 1 yang diinvestasikan untuk membangun tangki penampungan air hujan di Tepi Barat dapat menghasilkan penghematan biaya tangki air sebesar USD 38.
Untuk itulah, dalam rangka terus menegakkan kemanusiaan, bukan saja penting mendesak gencatan senjata antara Israel dan Palestina, agar tidak menambah korban berjatuhan berikutnya. Tetapi, kemanusiaan juga harus dibuktikan dengan menjamin warga Palestina yang masih hidup tetap terjamin kelangsungan hidup mereka, dengan menyelamatkan mereka dari ancaman kelaparan dan hilangnya pekerjaan.
Kemanusiaan dan pengentasan kelaparan adalah satu paket. Krisis kemanusiaan akibat perang bukan saja berdampak pada tingkat kematian tetapi juga pada tingkat kemiskinan, kelaparan, gizi buruk, dan hilangnya mata pencaharian. Jika perang memang belum memungkinkan untuk segera diakhiri, maka bantuan kemanusiaan untuk warga Palestina mendesak untuk segera diwujudkan.
Memastikan nyawa manusia selamat dari ancaman kematian sama pentingnya dengan memastikan nyawa orang yang hidup selamat dari ancaman kelaparan dan kehausan. Bahkan, sekalipun nantinya gencatan senjata berhasil diwujudkan dalam waktu dekat, pemulihan ekonomi adalah pekerjaan lain yang sama susahnya dibandingkan perang. Nilai-nilai kemanusiaan kita betul-betul sedang diuji melalui perang Israel-Palestina ini. Mereka yang terpanggil nuraninya atas penderitaan masyarakat Palestina itulah manusia yang mempunyai nurani dan tidak buta mata serta hatinya!*
Tags: mui