
Melihat Geliat Sertifikasi Halal di Negeri China dari Dekat, Menguji Daya Saing Indonesia
16/07/2025 07:12 ADMINOleh: KH Abdul Muiz Ali, Wakil Sekretaris Komisi Fatwa MUI Pusat dan anggota BPH DSN MUI
JAKARTA, MUI.OR.ID- Bepergian ke negeri yang mayoritas penduduknya non-Muslim seperti Tiongkok menyuguhkan tantangan tersendiri bagi umat Islam, terutama terkait konsumsi makanan dan produk halal. Hambatan bahasa bisa dilampaui dengan kecanggihan teknologi terjemahan berbasis AI.
Namun, persoalan kehalalan makanan tidak semudah menekan tombol aplikasi, ia menuntut pencarian aktif, investigasi label, serta kehadiran fisik di tempat-tempat yang memajang sertifikasi dari lembaga yang diakui.
Dalam konteks ini, peran lembaga sertifikasi halal menjadi vital, terlebih di negara seperti China yang populasinya Muslim hanya sekitar 1,8 persen dari total 1,42 miliar jiwa.
Pada Rabu, 8 Juli 2025, saya dan Eko Prameswara memulai kunjungan ke beberapa kota di China sebagai bagian dari audit halal lintas sektor. Dalam kegiatan ini, saya bertugas sebagai Auditor Syariah dan Mas Eko sebagai Auditor Sistem Jaminan Produk Halal.
Bersama kami, Mr Yahya dari Shanghai, Al-Amin—mitra resmi LPPOM—memberikan pendampingan. Selain Shanghai Al-Amin, ada lembaga halal lain seperti Shandong Halal Certification Service, Al-Baqara Certification, ARA Halal Certification Services Center dan juga terdapat kantor lembaga halal Internasional yang berkantor di China seperti American Halal Foundation Center (AHF), Halal Foundation Center (HFC) dan I-Halal Foundation (IHF). Ini menunjukkan keseriusan China dalam merambah pasar halal global.
China telah dikenal luas sebagai negara adidaya dalam ekspor teknologi dan otomotif. Namun kini, ia juga tengah memperkuat posisinya sebagai pemain utama dalam ekspor produk halal, mulai dari bahan baku, makanan dan minuman, enzim, vitamin, kosmetik, obat-obatan, hingga vaksin.
Strategi ini bukan semata karena sensitivitas keagamaan, melainkan karena China memahami bahwa pasar halal bernilai ekonomi besar. Global Islamic Economy Indicator (2024) menyebut nilai ekonomi halal global menyentuh USD 3 triliun dan diprediksi terus meningkat. Alquran menegaskan pentingnya konsumsi halal:
يَا أَيُّهَا النَّاسُ كُلُوا مِمَّا فِي الْأَرْضِ حَلَالًا طَيِّبًا
“Wahai sekalian manusia! Makanlah dari apa yang ada di bumi yang halal lagi baik.” (QS al-Baqarah: 168)
Ayat ini mengandung dua syarat konsumsi: halal secara hukum syariat dan baik (thayyib) secara kualitas dan keamanan. Ulama seperti Imam al-Qurṭubī menafsirkan ayat ini sebagai perintah untuk menjaga kesucian konsumsi agar keberkahan hidup tetap terjaga. Dalam hadis riwayat Muslim, Nabi ﷺ bersabda:
“من غشنا فليس منا”
“Barang siapa menipu (dalam jual beli), maka ia bukan dari golongan kami.”
Ini menjadi prinsip penting dalam sistem sertifikasi halal: transparansi, akuntabilitas, dan integritas harus dijaga oleh produsen. Maka, dalam konteks sertifikasi, bukan hanya label yang penting, tetapi juga proses dan validitas audit yang berkelanjutan.
Hari ini, China memimpin dalam produksi kendaraan listrik (EV), baterai lithium-ion, hingga alat medis seperti jarum berkualitas tinggi yang diekspor ke berbagai negara. Statistik 2024 menunjukkan bahwa China memproduksi sekitar 62 perrsen kendaraan listrik dunia dan 77 persen baterai EV, dengan perusahaan seperti BYD dan CATL memimpin pasar. Kini, model keberhasilan ini sedang direplikasi dalam sektor halal.
China membentuk rantai pasok halal dengan kecepatan tinggi. Sertifikasi tidak hanya dijadikan syarat formal, tetapi juga strategi penetrasi pasar. Dalam hal ini, kita harus mencermati bagaimana ekspor halal China akan menyasar negara-negara Muslim seperti Indonesia.
Padahal Indonesia, sebagai negara dengan penduduk Muslim terbesar, menghadapi tantangan serius. Data dari Komite Nasional Ekonomi dan Keuangan Syariah (KNEKS) menunjukkan bahwa baru sekitar 30 persen UMKM pangan di Indonesia yang tersentuh sertifikasi halal. Faktor biaya, akses, dan rendahnya literasi halal menjadi kendala utama.
Syekh Wahbah az-Zuḥailī dalam al-Fiqh al-Islāmī wa Adillatuh menyatakan:
"إن التحليل والتحريم في الإسلام إنما يبنيان على النص، والمصلحة، وعدم الضرر."
“Penghalalan dan pengharaman dalam Islam dibangun di atas nash, kemaslahatan, dan ketiadaan mudarat.”
Penjelasan ini menegaskan bahwa standar halal bukan semata urusan tekstual, tetapi juga soal perlindungan konsumen. Sertifikasi halal hari ini mencakup aspek rantai pasok, pengujian laboratorium, dan sistem mutu yang ketat. Negara yang mampu memenuhi standar ini akan lebih dipercaya di pasar global.
Dalam konferensi Halal World Forum 2023, Syaikh Syawqi Allam, Mufti Agung Mesir kala itu menyatakan industri halal bukan hanya ekspresi keagamaan, melainkan juga jalan kemakmuran. Beliau menekankan pentingnya kolaborasi antara pemerintah, ulama, dan pelaku industri agar sertifikasi halal benar-benar menjawab kebutuhan umat dan menjadi peluang ekonomi baru. Lebih jauh lagi, Alqurran memberi panduan bagi produsen makanan dan minuman:
فَكُلُوا مِمَّا رَزَقَكُمُ اللَّهُ حَلَالًا طَيِّبًا ۚ وَاشْكُرُوا نِعْمَتَ اللَّهِ
“Makanlah dari rezeki yang diberikan Allah kepada kalian yang halal lagi baik, dan bersyukurlah atas nikmat Allah.” (QS an-Naḥl: 114)
Ulama tafsir seperti al-Rāzī menekankan bahwa kata "halalan thayyiban" adalah kondisi utama bagi keberterimaan ibadah dan kebersihan hati seorang mukmin.
Kembali ke konteks global, kita harus jujur melihat kenyataan bahwa negara-negara seperti Jepang, Korea Selatan, dan China telah lebih dahulu merancang ekosistem halal mereka secara digital, terintegrasi, dan efisien. Sementara Indonesia masih bergulat dengan birokrasi dan keterbatasan sumber daya manusia di bidang auditing dan laboratorium.
Indonesia harus menyadari bahwa jika tidak segera berbenah, maka bukan tidak mungkin akan terpinggirkan dalam arus ekspor produk halal global. Potensi kita besar, tetapi keseriusan membangun sistem perlu ditingkatkan.
Penting untuk diingat bahwa industri halal bukan sekadar urusan keagamaan, tapi juga instrumen diplomasi dagang dan penguatan ekonomi umat. Inilah saatnya umat Islam melihat industri halal dengan perspektif strategis, bukan hanya ritualistik. Sebagaimana dikatakan oleh Imam Zakariyā al-Anṣārī dalam Asnā al-Maṭālib:
"الواجب أن يُراعى في الطعام والشراب ما يُؤمّن به الدين والنفس من الحرام والخطر."
"Wajib memperhatikan dalam makanan dan minuman hal-hal yang melindungi agama dan jiwa dari keharaman dan bahaya.”
Dengan semangat itu, sertifikasi halal bukan sekadar cap, tetapi komitmen kolektif untuk menjaga keberkahan, keadilan, dan kesehatan masyarakat Muslim global.
Menyaksikan langsung geliat industri halal di negeri minoritas Muslim, menjadi renungan bagi kita semua: apakah kita siap menjadi produsen utama halal dunia, atau hanya menjadi konsumennya?
Shanghai, 15 Juli 2025
Tags: halal, sertifikasi halal china, lembaga sertifikasi halal china, sertifikat halal, industri halal china, industri halal