
Makan Ikan Lele Pemakan Kotoran Manusia atau Hewan, Apa Hukumnya?
02/08/2025 09:32 ADMINFoto: freepik
Oleh: Ustadz A Zaeini Misbaahuddin Asyuari, S Pd, M Ag, alumnus Program Marhalah Tsaniyah Ma’had Aly Lirboyo Kediri
JAKARTA, MUI.OR.ID— Ikan lele merupakan salah satu jenis ikan air tawar yang sangat populer di kalangan masyarakat Indonesia.
Banyak orang menganggap ikan lele sebagai salah satu hidangan favorit, terutama bagi para penggemar pecel lele. Selain itu, ikan lele juga kaya akan nutrisi yang bermanfaat mirip dengan ikan tawar dan ikan laut lainnya.
Lele merupakan salah satu jenis ikan yang banyak dibudidayakan. Pemeliharaannya yang relatif mudah, ditambah dengan harga yang terjangkau dan cita rasa yang enak, membuat ikan ini sangat disukai.
Beberapa peternak ada yang memberi pakan ikan lele dengan bahan-bahan najis, seperti bangkai hewan dan kotoran tinja.
Namun, ada juga peternak yang memberikan pakan berupa dedaunan, cacing, belatung, dan sisa makanan. Pertanyaannya, bagaimana hukum mengonsumsi lele yang diberi pakan dari kotoran manusia dan benda najis lainnya?
Menurut keterangan fiqih, hewan yang mengonsumsi kotoran atau benda najis dikenal sebagai jalalah. Terkait dengan hewan jalalah ini, Rasulullah SAW pernah bersabda dan melarang umatnya untuk mengonsumsi jenis hewan tersebut:
إِنَّ النَّبِيَّ نَهَى عَنْ أَكْلِ الجَلَالَةِ وَشُرْبِ لَبَنِهَا حَتَّى تَعْلِفَ أَرْبَعِيْنَ لَيْلَةً
Artinya: “Sesungguhnya Nabi SAW melarang memakan daging binatang yang memakan kotoran dan melarang meminum susunya sampai hewan itu diberi makan (dengan yang tidak najis) selama 40 malam (hari).” (HR At-Tirmidzi)
Para ulama mazhab Syafi’i memahami larangan dalam hadits tersebut sebagai hukum makruh, bukan haram. Hukum makruh ini hanya berlaku jika daging hewan pemakan kotoran (jalalah) tersebut mengalami perubahan akibat mengonsumsi kotoran.
Jika dagingnya tidak mengalami perubahan, maka status kemakruhan tersebut menjadi hilang. Syekh Ibn Hajar Al-Asqalani (wafat 852 H) menjelaskan dalam kitabnya:
وَقَدْ أَطْلَقَ الشَّافِعِيَّةُ كَرَاهَةَ أَكْلِ الْجَلَّالَةِ إِذَا تَغَيَّرَ لَحْمُهَا بِأَكْلِ اللنَّجَاسَةِ وَفِي وَجْهٍ إِذَا أَكْثَرَتْ مِنْ ذَلِكَ
Artinya: “Mazhab Syafi’i telah menyatakan akan kemakruhan mengonsumsi daging hewan yang memakan najis jika dagingnya berubah akibat memakan najis tersebut. Menurut satu pendapat, jika hewan tersebut banyak memakan najis.” (Fath Al-Bari Syarh Sahih Al-Bukhori [Beirut: Dar Al-Ma’rifah], vol 9, h 648)
Sejalan dengan penjelasan di atas, Syekh Abu Bakr Syatha Ad-Dimyathi (wafat 1302 H) dalam catatannya menegaskan bahwa mengonsumsi hewan jalalah seperti lele pemakan kotoran adalah diperbolehkan, namun hukumnya makruh jika masih melekat sifat-sifat najis dari kotoran manusia yang terdeteksi pada lele, seperti bau atau rasanya. Sebaliknya, hukumnya menjadi mubah jika sifat-sifat tersebut sudah tidak ada lagi pada ikan lele tersebut:
قَوْلُهُ: وَيُكْرَهُ جَلَالَةٌ، أَيْ وَيُكْرَهُ أَكْلُ لَحْمِ الْجَلَالَةِ وَبَيْضِهَا، وَكَذَا شُرْبُ لَبَنِهَا، لِخَبَرٍ: أَنَّهُ صَلَى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمْ نَهَى عَنْ أَكْلِ الْجَلَالَةِ وَشُرْبِ لَبَنِهَا حَتَّى تُعْلَفُ أَرْبَعِيْنَ لَيْلَةً رَوَاهُ التِّرْمِذِي... وَقَوْلُهُ: إِنْ وُجِدَ فِيْهَا رِيْحُ النَّجَاسَةِ تَقْيِيْدٌ لِلْكَرَاهَةِ، أَيْ مَحَلُّ الْكَرَاهَةِ إِنْ ظَهَرَ فِي لَحْمِهَا رِيْحُ النَّجَاسَةِ. وَمِثْلُهُ مَا إِذَا تَغَيَّرَ طَعْمُهُ أَوْ لَوْنُهُ
Artinya: “Perkataan: Dan dimakruhkan memakan daging hewan yang memakan najis, maksudnya dimakruhkan mengonsumsi daging hewan tersebut dan telurnya, serta juga susu darinya, berdasarkan sebuah hadits: Bahwa Nabi
Muhammad SAW melarang mengonsumsi daging hewan yang memakan najis dan susu darinya hingga hewan tersebut diberi pakan selama empat puluh malam, sebagaimana diriwayatkan oleh Imam Tirmidzi. Perkataan: Jika terdapat bau najis, maka itu sebagai qayid kemakruhan, yaitu sisi kemakruhannya ialah jika tercium bau najis pada dagingnya. Dan hal yang sama berlaku jika rasa atau warnanya berubah.” (Hasyiyah I’anah At-Thalibin [Beirut: Dar Al-Fikr], vol 2, h 400)
Di samping itu, Majelis Ulama Indonesia (MUI) juga telah merilis Fatwa Nomor 52 Tahun 2012 yang secara spesifik membahas perihal Hukum Hewan Ternak yang Diberi Pakan dari Barang Najis. Fatwa tersebut menjelaskan beberapa ketentuan hukum yang menjadi landasan utama sebagai berikut:
Pertama, pakan najis dengan kadar minim. Fatwa ini dengan jelas menyatakan bahwa hewan ternak yang diberi pakan dari perkara atau unsur bahan baku yang najis, namun kadarnya sedikit atau tidak lebih banyak dari bahan baku yang suci, maka hukumnya halal dikonsumsi.
Hal tersebut berlaku baik untuk daging maupun susunya. Poin ini memberikan kelonggaran dalam kasus di mana kontaminasi najis dalam pakan tidak menjadi dominan, sehingga tidak secara signifikan memengaruhi kehalalan hewan.
Kedua, pakan dari rekayasa unsur produk haram dan dampaknya. Lebih lanjut, fatwa ini juga menyoroti kasus hewan ternak yang pakannya berasal dari hasil rekayasa unsur produk haram.
Dalam kondisi demikian, jika pakan tersebut tidak menimbulkan dampak pada perubahan bau, rasa, serta tidak membahayakan bagi konsumennya, maka hukumnya halal. Namun, apabila pakan tersebut menimbulkan dampak perubahan bau, rasa, atau membahayakan bagi konsumen, maka hukumnya menjadi haram.
Poin kedua ini menekankan pentingnya kualitas dan keamanan produk akhir yang dihasilkan oleh hewan ternak, bahkan jika sumber pakan awalnya berasal dari unsur yang diharamkan. Keamanan dan tidak adanya dampak negatif pada konsumen menjadi penentu utama kehalalan.
Dengan adanya Fatwa Nomor 52 Tahun 2012 ini, MUI memberikan kejelasan yang sangat dibutuhkan mengenai hukum hewan ternak yang diberi pakan dari barang najis. Fatwa ini tidak hanya mempertimbangkan aspek syariat, tetapi juga memperhatikan dampak praktis terhadap kesehatan dan keamanan konsumen, sehingga umat Islam dapat mengonsumsinya dengan lebih tenang dan yakin.
Alhasil, merujuk paparan ini hukum mengonsumsi ikan lele yang memakan kotoran dan benda najis adalah diperbolehkan.
Namun, jika terdapat perubahan pada daging akibat kotoran yang dimakan oleh hewan itu, maka hukumnya menjadi makruh. Status kemakruhan ini akan hilang jika tidak ada perubahan rasa pada daging dari hewan pemakan kotoran tersebut.
Oleh karena itu, sebaiknya bagi seseorang yang ingin mengonsumsi ikan lele agar lebih memilih ikan yang dibudidayakan tanpa memberi pakan berupa kotoran atau benda najis. Hendaknya, ikan lele diberi pakan lain seperti sisa makanan atau pakan khusus ikan, agar terhindar dari hukum makruh dalam mengonsumsinya. Wallahu a’lam bis shawab.
Tags: ikan lele, hukum makan lele, hukum makan lele pemakan kotoran, hukum konsumsi lele, lele menurut islam, fatwa mui