Konten Ustadz Medsos tanpa Sanad Rentan Menyesatkan, Begini Pesan Kiai Masduki Baidlowi

Konten Ustadz Medsos tanpa Sanad Rentan Menyesatkan, Begini Pesan Kiai Masduki Baidlowi

16/06/2025 16:40 ADMIN

JAKARTA, MUI.OR.ID— Ketua MUI Bidang Infokom KH Masduki Baidlowi mengingatkan konten keislaman melalui 'ustadz medsos' tanpa sanad (rantai keilmuan) sangat berisiko menyesatkan hingga berpeluang melahirkan paham radikalisme.

Kiai Masduki menjelaskan, era digital melahirkan banyak influencer agama dadakan atau 'ustadz medsos' tanpa latar belakang keilmuan mumpuni. Kiai Masduki menilai popularitas 'ustadz medsos' kerap menggeser otoritas ulama tradisional.

Menurutnya, 'ustadz medsos' memiliki ribuan pengikut, meski ilmu agamanya dangkal. Fenomena ini menantang sistem otoritas keagamaan konvensional, karena konten viral sering kali lebih didengar daripada nasihat kiai ber-sanad.

Kiai Masduki mengingatkan, pemahaman tanpa sanad sangat rawan. Sebab, dalam tradisi Islam, belajar harus berguru pada ulama yang memiliki sanad tersambung hingga Rasulullah SAW.

"Konten agama digital yang tanpa sanad berisiko menyesatkan. Ulama mengingatkan bahwa tanpa sanad, orang akan bebas bicara agama sesuka hati sesuai hawa nafsu dan kepentingannya. Contoh nyata, banyak kasus ayat atau hadist dikutip sepotong-potong di medis sosial untuk pembenaran kekerasan atau sikap intoleran," ungkapnya.

Selain itu, Kiai Masduki menilai, belajar agama secara otodidak lewat internet tanpa bimbingan guru sangat berbahaya. Menurutnya, generasi muda yang hanya mengandalkan Google atau YouTube rentan terpapar tafsir tekstual sempit, teori konspirasi, atau ideologi ekstrem.

"Tanpa sistem sanad yang memverifikasi kebenaran ilmu, pintu masuk radikalisme menjadi terbuka lebar di ranah digital," ungkapnya.

Hal ini disampaikan Kiai Masduki dalam acara Pelatihan Standardisasi Pentashihan Buku dan Konten Keislaman MUI, Senin (16/6/2025) di Kantor BRIN, Jakarta.

Kiai Masduki mengungkapkan, perubahan pola belajar agama dari konvensional ke platform digital banyak dilakukan oleh masyarakat, khususnya generasi muda melalui internet dan media sosial.

Kiai Masduki mengutip hasil survei yang dilakukan oleh Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat (PPIM) UIN Jakarta 2017 yang mencatat 50,9 persen pelajar-mahasiswa mencari pengetahuan agama dari internet atau media sosial. Hal ini lebih tinggi dari yang mengandalkan buku sebanyak 48,6 persen.

"Akses ini kian meningkat seiring penetrasi internet Indonesia mencapai 79,5 persen populasi pada awal 2024. Peran 'ustadz
medsos' dan AI mulai difungsikan layaknya ustaz untuk menjawab pertanyaan agama," kata dia.

Menurutnya, fenomena 'ustadz medsos' menandai anak muda kerap merujuk jawaban instan di ranah digital, sehingga menggeser pola belajar tradisional seperti pengajian tatap muka dan majelis taklim, menuju interaksi personal di ruang digital.

Lebih lanjut, Kiai Masduki menyampaikan, platform digital seperti YouTube, Instagram, TikTok dan aplikasi Islami kini menjadi mimbar dakwah baru. Sehingga, ustadz atau pendakwah, membuat konten ceramah, kajian fikih, hingga tanya-jawab keagamaan secara live streaming maupun video pendek.

"Kemudahan ini memungkinkan siapa pun mengakses ilmu agama kapan saja dan di mana saja, menggantikan keterbatasan ruang dan waktu dalam motode konvensional," ungkapnya.

Dampak positif

Lebih lanjut Kiai Masduki menyampaikan, perubahan tersebut memiliki sejumlah dampak positif seperti akses yang luas dan cepat, sehingga informasi keagamaan kini sangat mudah diakses.

Dakwah melalui platform digital, lanjutnya, dapat menembus batas geografis, sehingga siapa pun bisa mendengarkan ceramah ulama terkemuka secara online, membaca tafsir Alquran dan belajar Hadist melalui ponsel.

"Ini sangat membantu masyarakat di wilayah terpencil mendapatkan ilmu agama yang sebelumnya sulit dijangkau," lanjutnya.

Selain itu, dampak positifnya melahirkan interaktivitas dan kreativitas. Kiai Masduki menjelaskan media sosial menghadirkan konten dakwah yang interaktif dan kreatif, sehingga menarik minat siapa saja, khususnya generasi muda.

Menurutnya, pendekatan visual di Instagram, TikTok, podcast kajian, hingga infografis keislaman membuat belajar agama lebih atraktif, sehingga jangkauan dakwah pun meluas, bisa melintasi sekat usia dan gaya belajar.

Selain itu, dia mengungkapkan dampak positif lainnya adalah membentuk komunitas dan solidaritas global. Hal ini karena era digital memfasilitasi terbentuknya komunitas Muslim lintas negara melalui group WhatsApp, Telegram, dan forum daring lainnya yang membuat umat dapat berbagi pengalaman, saling mendukung, dan bertukar ilmu.

 "Solidaritas umat pun menguat, misalnya, penggalangan dana kemanusiaan untuk korban bencana dapat dilakukan cepat melalui media sosial, melibatkan donatur dari berbagai belahan dunia," ungkapnya.

Dampak negatif

Kiai Masduki mengungkapkan, perubahan pola belajar agama dari konvensional ke platform digital memiliki dampak negatif seperti moderasi terpinggirkan, radikalisme hingga disinformasi.

Distribusi narasi keagamaan di media sosial Indonesia 2009-2019 menurut riset PPIM UIN Jakarta didominasi oleh narasi konservatif sebanyak 67,2 persen sedangkan moderat hanya 22,2 persen.

"Narasi Islam konservatif cenderung mendominasi percakapan keagamaan di media sosial, sementara suara Islam moderat relatif tenggelam," ungkapnya.

Kiai Masduki menerangkan, penelitian tersebut menunjukkan akun berpaham Islamis/konservatif memiliki potensi viral lebih tinggi daripada akun moderat (fenomena noisy minority), yang membuat pesan Islam wasathiyah kalah gaung di ruang digital.

Selain itu, arus informasi digital yang bebas, membuka peluang penyebaran konten menyesatkan seperti hoaks berbalut agama, hadist palsu, dan tafsir keliru yang beredar luas.

Menurutnya, kurangnya literasi digital membuat sebagian masyarakat, mudah mempercayai disinformasi ini, yang dapat memicu salah paham dan polarisasi.

Lebih lanjut, Kiai Masduki mengungkapkan, algoritma media sosial kerap memprioritaskan konten sensasional berbasis engagement. Akibatnya, materi provokatif atau ekstrem lebih mudah viral dibanding konten moderat-edukatif.

"Pengguna bisa terperangkap dalam filter bubble yang mempersempit sudut pandang dan memperkuat radikalisme melalui
rekomendasi konten sejenis," ungkapnya.

Kiai Masduki mengatakan kelompok ekstremis memanfaatkan platform digital untuk menyebar ideologi radikal dan
merekrut simpatisan. Sepanjang 2024, pemerintah memblokir sekitar 180.954 konten bermuatan intoleransi, radikalisme, ekstrimisme, dan terorisme di ranah siber.

"Konten tersebut sebagian besar berupa propaganda jaringan teroris (ISIS, HTI dan lain-lain). Angka ini menunjukkan luasnya peredaran konten berbahaya yang mengancam pemahaman Islam moderat di dunia maya," ujarnya. (Sadam, ed: Nashih)


Tags: ustadz medsos, belajar agama di medsos, media sosial, majelis ulama indonesia, medsos sarana dakwah