
Jamaah Haji Batal Berangkat, Bagaimana Hukum Setoran dan Nilai Manfaatnya? Ini Penjelasan MUI
16/03/2025 23:49 ADMINJAKARTA, MUI.OR.ID— Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Bidang Fatwa Prof KH Asrorun Ni'am Sholeh mengkritisi skema pengembalian dana haji bagi jamaah yang gagal berangkat. Menurutnya, skema saat ini tidak adil.
Prof Ni'am mengungkapkan, jamaah haji yang tidak berangkat karena meninggal, membatalkan, dan dibatalkan karena alasan syar'i, dana setoran dikembalikan.
Hal ini sebagaimana diatur dalam Pasal 14 Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Keuangan Haji.
"Pasal 14 undang-undang pengelolaan keuangan haji mengatur jika ada jamaah batal berangkat karena meninggal, membatalkan, dibatalkan alasan syar'i, dana dikembalikan," kata Prof Ni'am saat Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) Komisi VIII DPR-RI, Kamis (13/3/2025) di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta.
RDPU Komisi VIII DPR-RI bersama dengan MUI dan BPKH ini membahas mengenai rencana revisi undang-undang pengelolaan keuangan haji.
Prof Ni'am menerangkan, dalam pasal tersebut disebutkan bahwa jamaah haji yang gagal berangkat tersebut dananya akan dikembalikan sebesar saldo setoran.
"Artinya berapapun (nilai manfaatnya) baliknya cuma Rp 25 juta seperti saldo setoran. Ini berarti belum sejalan dengan semangat bahwa nilai manfaat yang sudah dia peroleh ini harusnya juga dikembalikan," dikutip MUIDigital, Ahad (16/3/2025).
Guru Besar Bidang Ilmu Fikih UIN Jakarta ini menekankan, apabila tidak berangkat haji karena alasan yang sah, jamaah tersebut memperoleh hak pengembalian dana dari saldo pada saat daftar ditambah dengan nilai manfaat yang diperoleh selama masa tunggu haji atau investasi tersebut.
Prof Ni'am menegaskan, nilai manfaat tersebut merupakan milik calon jamah haji secara personal sehingga, harus dikembalikan kepada pemiliknya.
"Dan pemiliknya itu diketahui secara definitif by name by addres melalui virtual accountnya. Kemudiaan untuk 'subsidi' perlu diganti karena itu uang jamaah ke jamaah," terangnya.
Pengasuh Pondok Pesantren An-Nahdlah, Depok, Jawa Barat ini menjelaskan, pensubsidian dari calon jamaah haji kepada jamaah haji lain yang akan berangkat tanpa hak dan secara syar'i bermasalah.
"Secara syar'i ini bermasalah. Secara operasional berpotensi menimbulkan problem keuangan dalam jangka panjang dan mengancam keberlanjutan pengelolaan dana haji," tuturnya.
Menurutnya, melalui revisi undang-undang pengelolaan keuangan haji merupakan momentum untuk memperbaiki tata kelola haji yang lebih baik.
Selain itu, dalam kesemlatan ini, MUI mengusulkan adanya Dewan Pengawas Syariah (DPS) dalam pengelolaan dana keuangan haji.
Ketua MUI Bidang Fatwa ini menyampaikan, dalam Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Keuangan Haji pada bab 4 pasal 34 persyaratan umum anggota pelaksana dan dewan pengawas Badan Pengelola Keuangan Haji (BPKH).
"Di dalam syaratnya disebutkan salah satunya memiliki pengetahuan ekonomi syariah. Tetapi tidak ada syarat secara spesifik terkait pengetahuan (mengenai) hukum ekonomi syariah atau hukum syariah," kata dia.
Prof Ni'am, menjelaskan pengetahuan hukum ekonomi syariah secara merujuk pada dua hal yakni operasionalnya yang kompeten dan pengawasan terhadap hukum syariahnya.
"Secara terminologi ekonomi syariah itu pada aspek operasionalnya, tapi yang penting disamping aspek operasionalnya yang kompeten, pengawasan terhadap hukum syariahnya," sambungnya.
Menurutnya, ini sejalan dengan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2003 tentang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (PPSK). Dalam undang-undang tersebut juga mengatur pengertian mengenai prinsip syariah.
Prof Ni'am menerangkan, prinsip syariah itu adalah prinsip hukum Islam berdasarkan fatwa yang dikeluarkan oleh lembaga yang memiliki kewenangan dalam penetapan fatwa di bidang syariah.
"Sementara undang-undang pengelolaan haji, sungguh pun menyebutkan di dalam pasal 2 tentang pengelolaan keuangan haji wajib berprinsip syariah, tapi tidak ada penjaminan hukum syariah di dalamnya," kata Pengasuh Pondok Pesantren An-Nahdlah, Depok, Jawa Barat.
Untuk itu, kata Prof Ni'am, MUI mengusulkan secara khusus kedudukan DPS di dalam pengelolaan dana keuangan haji yang sejajar dengan komisaris, pengawas dan dewan pengawas.
"Untuk itu, kami usul secara khusus kedudukan DPS di dalam dana pengelolaan keuangan haji. Disamping dewan pengawas yang kedudukannya sama dengan komisaris, kemudiaan pengawas dan dewan pengawas," jelasnya.
Selain itu, dalam kesemlatan ini, MUI mengusulkan adanya Dewan Pengawas Syariah (DPS) dalam pengelolaan dana keuangan haji.
Ketua MUI Bidang Fatwa ini menyampaikan, dalam Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Keuangan Haji pada bab 4 pasal 34 persyaratan umum anggota pelaksana dan dewan pengawas Badan Pengelola Keuangan Haji (BPKH).
"Di dalam syaratnya disebutkan salah satunya memiliki pengetahuan ekonomi syariah. Tetapi tidak ada syarat secara spesifik terkait pengetahuan (mengenai) hukum ekonomi syariah atau hukum syariah," kata dia.
Prof Ni'am, menjelaskan pengetahuan hukum ekonomi syariah secara merujuk pada dua hal yakni operasionalnya yang kompeten dan pengawasan terhadap hukum syariahnya.
"Secara terminologi ekonomi syariah itu pada aspek operasionalnya, tapi yang penting disamping aspek operasionalnya yang kompeten, pengawasan terhadap hukum syariahnya," sambungnya.
Menurutnya, ini sejalan dengan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2003 tentang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (PPSK). Dalam undang-undang tersebut juga mengatur pengertian mengenai prinsip syariah.
Prof Ni'am menerangkan, prinsip syariah itu adalah prinsip hukum Islam berdasarkan fatwa yang dikeluarkan oleh lembaga yang memiliki kewenangan dalam penetapan fatwa di bidang syariah.
"Sementara undang-undang pengelolaan haji, sungguh pun menyebutkan di dalam pasal 2 tentang pengelolaan keuangan haji wajib berprinsip syariah, tapi tidak ada penjaminan hukum syariah di dalamnya," kata Pengasuh Pondok Pesantren An-Nahdlah, Depok, Jawa Barat.
Untuk itu, kata Prof Ni'am, MUI mengusulkan secara khusus kedudukan DPS di dalam pengelolaan dana keuangan haji yang sejajar dengan komisaris, pengawas dan dewan pengawas.
"Untuk itu, kami usul secara khusus kedudukan DPS di dalam dana pengelolaan keuangan haji. Disamping dewan pengawas yang kedudukannya sama dengan komisaris, kemudiaan pengawas dan dewan pengawas," jelasnya. (Sadam, ed: Nashih).
Tags: setoran haji, dana setoran haji, nilai manfaat dana setoran haji, majelis ulama Indonesia, haji, jamaah haji, jamaah batal berangkat