Hadiri Kazan Expo 2024 Rusia, Gus Fahrur Sampaikan Pidato Kiprah MUI dalam Sertifikasi Halal di Indonesia

Hadiri Kazan Expo 2024 Rusia, Gus Fahrur Sampaikan Pidato Kiprah MUI dalam Sertifikasi Halal di Indonesia

16/05/2024 21:37 JUNAIDI

JAKARTA, MUI.OR.ID--Wakil Sekretaris Jenderal Majelis Ulama Indonesia (Wasekjen MUI) Bidang Fatwa KH Ahmad Fahrur Rozi mengadiri Kazan Expo 2024 Rusia. 

Kehadiran ulama yang akrab disapa Gus Fahrur itu mewakili Ketua Umum MUI KH Anwar Iskandar. Dalam forum tersebut, Gus Fahrur menyampaikan kiprah MUI dalam melindungi umat, salah satunya melalui sertifikasi halal. 

Gus Fahrur mengatakan, MUI memiliki pengalaman yang panjang dalam melaksanakan sertifikasi halal di Indonesia. MUI telah mengambil peran ini selama tiga puluh empat tahun. 



"Tujuan utama MUI dalam mengambil peran tersebut adalah untuk melindungi umat Islam dari konsumsi produk-produk yang haram atau syubhat (ragu-ragu)," kata Gus Fahrur yang membacakan pidato yang ditulis KH Anwar Iskandar bertema Peran MUI dalam Sertifikasi Produk Halal Global, Kamis (16/5/2024) waktu setempat. 

Bagi umat Islam, kata Gus Fahrur, mengkonsumsi produk halal merupakan bagian dari keimanan. Hal ini karena diwajibkan oleh ajaran agama sebagaimana dalam firman Allah SWT dalam QS Al-Baqarah ayat 168. 

Seiring dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi di bidang pangan, obat-obatan dan kosmetika yang sudah semakin maju. Pembuatan suatu produk tidak lagi menggunakan bahan mental karena berasal dari alam. 

Namun, dapat dilakukan melalui rekayasa yang sedemikian rupa sehingga, sulit bagi siapa pun untuk mengetahui kehalalan produk tersebut tanpa melalui proses audit dan penelusuran bahan serta proses produksi.  

Oleh karena itu, kata Gus Fahrur, hukumnya wajib bagi setiap produk pangan yang dijual bebas di pasaran untuk mencantumkan informasi bahan baku pada kemasannya. 

Gus Fahrur yang juga Ketua PBNU ini mengatakan, pencantuman ini dimaksudkan agar konsumen dapat mengetahui secara pasti terkait bahan apa saja yang terkandung dalam produk yang akan dikonsumsinya. 

"Bagi umat Islam, informasi ini penting untuk mengetahui produk tersebut memenuhi kaidah kehalalan, sehingga jika dikonsumsi, maka diyakini kehalalannya," ungkapnya. 

Lebih lanjut, Gus Fahrur menyampaikan, para konsumen muslim sangat sulit untuk menentukan kehalalan suatu produk hanya berdasarkan informasi bahan baku pada kemasan produk tersebut. 

Sebab, istilah yang digunakan kerap kali menggunakan kode-kode tertentu, sesuai dengan kode-kode yang sering digunakan oleh para ilmuwan di laboratorium yang sulit dipahami oleh orang awam.

Tidak hanya itu, Gus Fahrur menjelaskan, kesulitan lainnya dalam mengetahui halal atau tidaknya suatu produk hanya dengan menggunakan kitab agama (nushus syar'iyah). 

"Karena yang menentukan halal atau tidaknya suatu produk bukan hanya bahan bakunya saja, bahan tambahan dan bahan penolong, tetapi juga dalam proses produksinya. Apalagi produk tersebut berasal dari negara yang mayoritas penduduknya non-Muslim," jelasnya. 

Sekalipun bahan bakunya adalah barang suci dan halal, Gus Fahrur menerangkan, tidak menutup kemungkinan dalam proses pembuatannya tercampur, digunakan, atau bersentuhan dengan bahan najis atau tercampur dengan bahan haram. 

Gus Fahrur menjelaskan, ketika hal tersebut terjadi, karena proses produksinya tercampur atau bersentuhan dengan barang najis, dan tidak ada proses bersuci secara syar'i pada proses selanjutnya, maka produk tersebut tetap tidak halal dan haram untuk dikonsumsi oleh umat Islam. 

Menurut ajaran Islam, menentukan sesuatu halal atau haram tidak bisa hanya didasarkan pada asumsi atau perasaan suka atau tidak suka saja. Tetapi, harus berdasarkan Alquran, Sunnah, dan kaidah hukum yang dapat dipertanggungjawabkan secara syariah.

"Dalam konteks ini, sertifikasi produk halal menjadi penting. Ini akan melindungi umat Islam dari mengonsumsi makanan haram dan syubhat," tegasnya. 

*Kriteria Produk Halal: Paduan Nilai Ilmiah dan Syariah*

Berbicara mengenai kriteria produk halal, Gus Fahrur menerangkan, secara umum sertifikasi produk halal harus melalui dua tahap. Kedua tahap itu yakni tahap penilaian ilmiah dan tahap penilaian syariah. 

Gus Fahrur mengungkapkan, sebelumnya adanya Undang-undang Jaminan Produk Halal, penelitian ilmiah dilaksanakan oleh Lembaga Pengkajian Pangan, Obat-obatan dan Kosmetika (LPPOM) MUI. Sebuah lembaga di bawah MUI yang beranggotakan para ilmuah yang ahli di bidang teknologi pangan. 

Setelah adanya Undang-undang Jaminan Produk Halal, saat ini terdapat puluhan Lembaga Pemeriksa Halal (LPH) yang menjalankan fungsi tersebut. 

"LPH melakukan proses audit dan menelusuri seluruh material dan proses produksi. Outputnya berupa informasi valid mengenai bahan dan proses produksi," kata Gus Fahrur. 

Lebih lanjut, Gus Fahrur mengatakan, hasil dari LPH tersebut akan dibawa ke Komisi Fatwa MUI untuk dibahas dan ditetapkan fatwanya sebagai bagian dari tahap penilaian syariah. 


Dalam menjalankan tugasnya, ketika itu LPPOM MUI mempunyai Sistem Jaminan Halal atau SJH 23000. Sistem yang telah diadopsi oleh lembaga sertifikasi halal di luar negeri selama 30 tahun. 

Saat ini, lanjutnya, yang berlaku adalah Sistem Jaminan Produk Halal atau SJPH yang diterbitkan oleh Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal atau BPJPH. 

"Sedangkan penilaian syariah dilakukan oleh Komisi Fatwa MUI. Proses ini dilakukan dengan menilai hasil kerja LPH secara syariah. Penilaian syariah dilakukan dengan menggunakan standar halal yang disepakati," terangnya. 

Gus Fahrur menegaskan, MUI telah memiliki standar halal melalui fatwa-fatwa mengenai makanan, minuman, obat-obatan, kosmetika dan barang-barang yang digunakan dan terlibat dalam kehidupan sehari-hari. 

"Terutama yang digunakan untuk beribadah atau berkaitan dengan produk yang dikonsumsi. Standar ini telah dijadikan acuan oleh lembaga sertifikasi halal luar negeri dan menentukan fatwa halal," ungkapnya. 

*Manhaj Fatwa Halal dalam Sertifikasi Halal*

Gus Fahrur menekankan, manhaj fatwa halal merupakan suatu hal yang penting dalam proses sertifikasi produk halal. Sebab, tanpa adanya manhaj yang jelas, maka fatwa halal yang menjadi dasar penerbitan sertifikasi halal tidak mempunyai dasar yang sah dalam hal akuntabilitas syariah. 

"Karena perdagangan produk halal bersifat _borderless_ artinya tidak terbatas pada yurisdiksi negara, maka penting untuk mewujudkan manhaj fatwa halal global," tegasnya. 

Gus Fahrur menerangkan, manhaj fatwa halal global bertujuan agar sertifikasi halal yang diterbitkan oleh lembaga sertifikasi halal di suatu negara dapat langsung diterima oleh lembaga serupa di negara lain. 

Lebih lanjut, Gus Fahrur mengungkapkan, MUI dalam menentukan kehalalan suatu produk menggunakan prinsip pendapat tawasshuthy, yaitu pendapat yang moderat, tidak tasyaddudi atau tasahuly. 

"Dalam menentukan kehalalan suatu makanan dan minuman, MUI menggunakan prinsip: al-akhdhu bil ahwath dan al-khuruj min al-khilaf," sambungnya. 

Berdasarkan hal tersebut, menurut Gus Fahrur, perlu adanya koordinasi antar lembaga sertifikasi halal di dunia. Selain itu, perlu disepakatinya standar halal dan manhaj, agar sertifikasi halal yang dikeluarkan oleh lembaga halal manapun di dunia dapat diakui oleh lembaga lain di semua negara. 

Gus Fahrur juga menilai perlu diadakannya pertemuan secara rutin untuk mengevaluasi perkembangan produk halal dan menyikapi berbagai permasalahan yang muncul. 

"Terkait dengan semakin berkembangnya dan kemajuan produk makanan, minuman, dan kosmetika di dunia. Dan mencari solusi atas permasalahan yang belum disepakati," sambungnya. (Sadam/Azhar)

Tags: mui, maroko