Fikih Rekreasi: Bekal Masyarakat Muslim Berlibur ke Luar Kota

Fikih Rekreasi: Bekal Masyarakat Muslim Berlibur ke Luar Kota

20/12/2023 20:38 ADMIN

Oleh:

KH Abdul Muiz Ali Wakil Sekretaris Komisi Fatwa MUI


Rekreasi dalam kamus besar Indobesia diartikan sebagai penyegaran kembali badan dan pikiran, sesuatu yang menggembirakan hati dan menyegarkan seperti hiburan dan piknik.
Rekreasi biasanya dilakukan saat libur akhir pekan atau libur nasional seperti pergantian tahun baru. Masyarakat dunia lazim melakukan rekreasi, bertamasya, berlibur dan berwisata ke luar kota, luar negeri mendatangi tempat-tempat hiburan bersama keluarga, kerabat ataupun teman kantor.
Memang pada dasarnya menyukai dan mendatangi tempat-tempat yang indah termasuk kebutuhan yang biasa dimiliki semua orang.
Hukum asal rekresasi (tanazzuh) adalah boleh. Bahkan bisa menjadi kegiatan terpuji dan menuai pahala jika diniatkan untuk ibadah.
Dalam istilah arab melakukan perjalanan dari satu tempat ketempat yang lain disebut dengan as-siyāhah (parawisata). Melakukan perjalanan adalakanya bertujuan rekreasi (tanazzuh), menikmati pemandangan alam (taladzudz), dan menghayati keindahan ciptaan Allah SWT.
Pengertian rekreasi (tanazzuh), sebagaimana disebutkan dalam kitab Hasyiyah Jamal ‘Ala al-Minhaj juz 1, halaman 596 adalah melakukan perjalanan bertujuan menyegarkan jiwa untuk menghilangkan kepenatan urusan dunia. Syekh Ibnu Hajar Al-Haitami menjelaskan:
أَنَّ التَّنَزُّهَ غَرَضٌ صَحِيحٌ يُقْصَدُ فِي الْعَادَةِ لِلتَّدَاوِي وَنَحْوِهِ كَإِزَالَةِ الْعُفُونَاتِ النَّفْسِيَّةِ وَاعْتِدَالِ الْمِزَاجِ وَغَيْرِ ذَلِكَ
“Sesungguhnya rekreasi adalah tujuan yang sah dan dibolehkan secara lumrahnya untuk pengobatan diri, seperti menghilangkan kesumpekan, meningkatkan semangat dan lain sebagainya.” (Al-Fatawa Al-Fiqhiyyah Al-Kubra_, juz 1, halaman 326-327).
Masyarakat Muslim yang sedang atau hendak melakukan rekreasi, penting diingatkan ulang, agar tetap memperhatikan kewajiban sholatnya. Dalam syariat Islam seseorang yang sedang dalam perjalanan jauh dengan jarak tempuh mencapai 82 km, dan bukan perjalanan yang maksiat (dilarang), maka dia mendapatkan kemurahan dan kemudahan (rukhshoh) dalam mengerjakan sholatnya.
Kemurahan dan kemudahan dalam mengerjakan shalat dimaksud adalah dapat menggabung dua shalat dalam satu waktu, shalat dzuhur digabung dengan ashar atau maghrib digabung dengan isya. Untuk shalat shubuh tidak bisa digabung.
Bisa juga dengan cara meringkas sekaligus menggabung dengan shalat yang lain, shalat Dzuhur, Ashar, Isya' masing-masing menjadi dua rakaat. Untuk Maghrib dan Shubuh tidak bisa diringkas.
Pada saat meringkas (qashar) shalat boleh juga sekaligus menggabung dengan sholat yang lain (jamak-qasar), Dzuhur digabung dengan ashar masing-masing menjadi dua rakaat, baik dilakuan diwaktu sholat Dzuhur (jamak takdim) atau diwaktunya shalat Ashar (jama' takhir).
Untuk penggabungan shalat Maghrib dengan Isya caranya shalat maghribnya tiga rakaat Isyanya boleh empat rakaat atau juga boleh Isyanya diringkas menjadi dua rakaat. Allah subhanahu wata'ala berfirman:
 وَاِذَا ضَرَبْتُمْ فِى الْاَرْضِ فَلَيْسَ عَلَيْكُمْ جُنَاحٌ اَنْ تَقْصُرُوْا مِنَ الصَّلٰوةِ ۖ
"Apabila kamu bepergian di bumi, maka tidak dosa bagimu untuk mengqasar shalat." (QS An-Nisa' [4]:101).
Hadits Nabi Muhammad SAW yang menjelaskan tentang jama' dan qashar shalat disebutkan, antara lain:
عَنْ يَعْلَى بْنِ أُمَيَّةَ قَالَ قُلْتُ لِعُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ لَيْسَ عَلَيْكُمْ جُنَاحٌ أَنْ تَقْصُرُوا مِنْ الصَّلاَةِ إِنْ خِفْتُمْ أَنْ يَفْتِنَكُمْ الَّذِينَ كَفَرُوا فَقَدْ أَمِنَ النَّاسُ فَقَالَ عَجِبْتُ مِمَّا عَجِبْتَ مِنْهُ فَسَأَلْتُ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ ذَلِكَ فَقَالَ صَدَقَةٌ تَصَدَّقَ اللهُ بِهَا عَلَيْكُمْ فَاقْبَلُوا صَدَقَتَهُ.
Artinya: “Diriwayatkan dari Ya’la Ibn Umayyah, ia berkata: Saya bertanya kepada ‘Umar Ibnul Khaththab tentang (firman Allah): “Laisa ‘alaikum junahun an taqshuru minashalah in khiftum an yaftinakumu-lladzina kafaru”. Padahal sesungguhnya orang-orang dalam keadaan aman. Kemudian Umar berkata, “Saya juga heran sebagaimana anda heran terhadap hal itu. Kemudian saya menanyakan hal itu kepada Rasulullah SAW.” Beliau bersabda, “Itu adalah pemberian Allah yang diberikan kepada kamu sekalian, maka terimalah pemberian-Nya.” (HR Muslim).
عَنْ أَنَسٍ أَنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صَلَّى الظُّهْرَ بِالْمَدِينَةِ أَرْبَعًا وَصَلَّى الْعَصْرَ بِذِي الْحُلَيْفَةِ رَكْعَتَيْنِ.
Artinya: “Diriwayatkan dari Anas, bahwa Rasulullah SAW shalat Dzuhur di Madinah empat rakaat dan shalat ashar di Dzul Hulaifah dua rakaat.” (HR Muslim).
عَنْ مُعَاذٍ قَالَ خَرَجْنَا مَعَ رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي غَزْوَةِ تَبُوكَ فَكَانَ يُصَلِّي الظُّهْرَ وَالْعَصْرَ جَمِيعًا وَالْمَغْرِبَ وَالْعِشَاءَ جَمِيعًا.
Artinya: “Diriwayatkan dari Mu’adz ra ia berkata: Kami pergi bersama Nabi SAW dalam Perang Tabuk, beliau melaksanakan shalat Dzuhur dan Ashar secara jama‘, demikian juga antara Maghrib dan Isya dilakukan secara jama‘. (HR Muslim).
Dalam Mazhab Syafiiyah perjalanan yang betujuan rekreasi kesuatu daerah sudah memenuhi unsur untuk melaksananan shalat jama' dan qashar. Hal tersebut sebagaimana disebutkan dalam al-Fatāwā al-Kubrā juz 1 halaman 326-327 dan `I'ānah ath-Thālibīn, juz 2 halaman 101.
Sedangkan bepergian dengan tujuan hanya melihat satu daerah para ulama memiliki perbedaan pendapat. Menurut pendapat yang lebih sahih (qaul al-ashah), tujuan tersebut tidak memenui syarat untuk melaksanakan shalat jama' dan qashar sebagaimana yang ada didalam dua kitab di atas.
Sedangkan menurut Imam Ibrahim al-Bajuri dalam Hāsyiyah al-Bājūrī-nya, perjalanan yang bertujuan untuk bertamasya (rekreasi) dan sekedar melihat satu kawasan, maka dua tujuan terebut tidak termasuk perjalanan yang memperbolehkan shalat jama’ dan qashar. Penjelasan tersebut dapat dirujuk pada kitab Hāsyiyah al-Bājūrī juz 1 halaman 210.
Dalam Madzhab Hanbali sebagaimana dijelaskan dalam kitab Al-Mughnī oleh Imam Ibnu Qudamah juga terjadi perbedaan pendapat sebagai berikut:
فَصْلٌ : وَفِي سَفَرِ التَّنَزُّهِ وَالتَّفَرُّجِ رِوَايَتَانِ : إحْدَاهُمَا ، تُبِيحُ التَّرَخُّصَ وَهَذَا ظَاهِرُ كَلَامِ الْخِرَقِيِّ لِأَنَّهُ سَفَرٌ مُبَاحٌ ، فَدَخَلَ فِي عُمُومِ النُّصُوصِ الْمَذْكُورَةِ ، وَقِيَاسًا عَلَى سَفَرِ التِّجَارَةِ وَالثَّانِيَةُ : لَا يَتَرَخَّصُ فِيهِ
"Pasal. Tentang pembahasan perjalanan dengan tujuan tamasya dan plesir terdapat dua pendapat. Pertama, mendapatkan keringanan (boleh menjama/meringkas shalat).
Pendapat ini diambil dari pernyataan lahiriyah Imam al-Khiraqy, karena tujuan tamasya dan plesir termasuk perjalanan yang diperbolehkan, maka tercakup dalam dalil keumuman nash dan dianalogkan dengan perjalanan niaga. Kedua, tidak mendapatkan keringanan (tidak boleh menjama/meringkas shalat.” (Al-Mughni li Ibn Qudamah juz 3 halaman 117).
Alhasil, dalam rangka ihtiyath (hati-hati), meski perjalanan rekreasi atau pariwasata boleh hukumnya menggabung (jama') dan meringkas (qashar) shalat hendaknya dapat dipastikan perjalanan itu bukan perjalanan yang maksiat (dilarang), niatkan acara rekreasi untuk ibadah, menghayati ciptaan Allah SWT, menguatkan silaturahim dengan saudara atau kerabat dan niat baik lainnya. Wallāhu `A'lam bish shawāb.
TAGING: liburan akhir tahun, liburan sekolah, musim liburan, fikih liburan, fikih tamasya, fikih rekreasi, hukum wisata, hukum tamasya, hukum rekreasi, adab tamasya, adab wisata, adab rekreasi

Tags: Fikih Rekreasi