
Catatan dari Tanah Suci: Ketika Chemistry PPIH-Syarikah Bersemi di Daker Bandara
17/05/2025 22:03 ADMINOleh: Muhammad Fakhruddin, Jurnalis MUIDigital dari Madinah, Arab Saudi
MADINAH — Suasana Bandara Amir Muhammad bin Abdul Aziz, Madinah, masih terasa hangat meski malam mulai beranjak pagi, Sabtu (17/5/2025). Kloter JKS 31, rombongan terakhir gelombang pertama jamaah haji Indonesia, baru saja mendarat, menandai tuntasnya tugas Daerah Kerja (Daker) Bandara PPIH Arab Saudi di Madinah.
Hari itu bukan hari biasa. Tim sektor 1 yang bertugas sejak sore hari sebelumnya menghadapi lonjakan kedatangan jamaah. Sedikitnya delapan kloter yang keluar dari jalur fast track terminal Kedatangan Bandara Madinah yang harus dilayani untuk diarahkan ke bus yang mengantarkan jamaah ke hotel. Pekerjaan itu tentu melelahkan. Namun, sebuah harmoni yang mulai terjalin antara petugas PPIH dan mitra lokal, Syarikah, membuat semua terasa lebih ringan.
Koordinasi di lapangan bukan tanpa kendala. Tapi justru dari tantangan itu lahirlah kekompakan yang tak terduga. Chemistry antara petugas haji Indonesia dan petugas Syarikah—perusahaan lokal yang ditunjuk menangani transportasi dan layanan jamaah—tak tumbuh instan. Ia lahir dari interaksi, empati, dan pencarian solusi bersama atas setiap permasalahan yang muncul di lapangan.
Semula saya mengira orang Arab galak dan kaku. Namun, pandangan itu berubah drastis saat suatu siang yang terik, ketika suhu menembus 40 derajat Celcius. Di tengah kesibukan mengarahkan jamaah, seorang pria Arab bertubuh tambun dan tingginya hampir 2 meter, tiba-tiba menepuk bahu saya lalu memberikan sebotol air dingin sambil tersenyum dan menarik janggut saya.
Petugas Syarikah itu juga membagikan air kepada petugas lain. Sebuah gestur sederhana yang menyejukkan suasana.
Tahun ini, pemerintah Indonesia menunjuk delapan Syarikah berbeda untuk melayani jamaah haji Indonesia, dari tahun sebelumnya yang hanya melibatkan satu Syarikah. Ini tentu membawa tantangan koordinasi baru, apalagi di tengah sistem fast track yang memungkinkan jamaah keluar terminal langsung menuju bus.
Awalnya, petugas mengarahkan jamaah ke bus mana saja yang masih kosong. Namun, pendekatan ini menimbulkan keresahan karena para jemaah khawatir terpisah dari rombongannya. Dari sinilah koordinasi intensif dibangun. Kini, jamaah diarahkan menuju bus yang sesuai dengan nomor rombongannya. Petugas PPIH memastikan keutuhan rombongan, sementara Syarikah mencocokkan identitas layanan sesuai visa. Perlahan tapi pasti, sinergi mulai terbentuk.
Namun, tantangan tak berhenti di sana. Syarikah memiliki kebijakan maksimal 40 penumpang per bus,
sementara kami membagi setiap bus berjumlah 45 orang sesuai dengan jumlah kursi.
Kendati ada perbedaan, pihak Syarikah tidak lantas menelantarkan kelebihan penumpang tersebut, malah mereka menyiapkan bus yang baru. Bahkan jika hanya ada satu orang jamaah saja dari syarikah tersebut yang dijemput mereka tetap mengangkutnya menggunakan satu bus, tanpa mengetem atau menunggu penumpang dari kloter lain.
Pernah juga, sebuah bus hampir penuh dengan 39 penumpang. Saat satu slot tersisa, masih ada dua jamaah, yaitu seorang nenek menggunakan kursi roda dan anak perempuannya sebagai pendampingnya.
Semula mereka keukeuh hanya satu penumpang saja yang boleh naik. Tetapi kami menjelaskan kalau anaknya harus mendampingi ibunya yang sudah renta. Lalu terjadi komunikasi di antara semasa petugas Syarikah. Solusinya nenek tersebut diijinkan tetap bersama anaknya. Tak lama bus pun pergi. Tiba-tiba saya merasakan kehangatan di tengah dinginnya malam Kota Madinah saat itu.
Chemistry yang terbangun di Bandara Madinah menjadi pengalaman yang akan sangat berharga saat tugas berlanjut ke Bandara Jeddah menyambut gelombang kedua kedatangan jamaah haji asal Indonesia.
Tags: haji, ibadah haji, tanah suci, catatan dari tanah suci, syarikah