Boleh Nggak Sih Jadi Affiliator? Ini Jawaban Komisi Fatwa MUI

Boleh Nggak Sih Jadi Affiliator? Ini Jawaban Komisi Fatwa MUI

01/08/2025 23:53 ADMIN

Foto: freepik

JAKARTA, MUI.OR.ID—Seiring maraknya pemasaran berbasis komisi di era ekonomi digital, muncul pertanyaan yaitu bagaimana hukum menjadi affiliator menurut Islam?

Menanggapi hal ini, Sekretaris Komisi Fatwa MUI, Kiai Miftah, menjelaskan hukum aktivitas afiliasi menurut kacamata syariah.
Kiai Miftah mengatakan definisi affiliator agar tidak terjadi kerancuan.

“Affiliator adalah individu atau lembaga yang ikut dalam program afiliasi, bertugas mempromosikan produk atau jasa milik pihak lain, lalu mendapatkan komisi dari setiap transaksi yang berhasil melalui tautan afiliasi yang dibagikan,” jelasnya Kiai
Miftah dalam keterangan tertulis yang dimuat di rubrik Ulama Menjawab MUIDigital, dikutip Jumat (1/8/2025).

Hukum asalnya adalah mubah (diperbolehkan), selama aktivitas tersebut tidak mengandung unsur yang dilarang dalam syariat. “Menjadi affiliator pada dasarnya diperbolehkan dalam Islam,” ujarnya.

Ada empat syarat penting agar aktivitas ini halal secara syariat. Kiai Miftah menjelaskan akad yang transparan penting agar tidak mengandung gharar (ketidakjelasan), karena gharar adalah salah satu larangan dalam transaksi Islam.

“Pertama Akad yang Jelas, Harus ada akad atau perjanjian yang jelas antara affiliator dan pemilik produk. Di situ diatur hak dan kewajiban masing-masing,” katanya.

Kiai Miftah mengingatkan bahwa keadilan adalah prinsip dasar dalam seluruh bentuk muamalah. Jika terdapat unsur kezaliman, meskipun dalam transaksi digital, maka tetap haram hukumnya.

“Kedua, Isi akadnya tidak boleh bertentangan dengan prinsip keadilan. Tidak boleh ada riba, penipuan, atau eksploitasi,” tambahnya.

Kiai Miftah menambahkan, halal-haram produk menjadi kunci utama. Promosi terhadap barang haram akan menjadikan komisi yang didapat juga tidak halal.

“Ketiga, Barang atau jasa yang dipromosikan harus halal. Tidak boleh memasarkan produk haram seperti minuman keras, judi, pornografi, atau hal-hal yang merusak akhlak,” imbaunya.

Lebih lanjut, Kiai Miftah menekankan bahwa teknik pemasaran harus bersih dari tipu daya.

“Keempat, cara promosi juga harus sesuai etika Islam. Tidak boleh bohong, memanipulasi, menyesatkan, atau vulgar,” jelasnya.

Kiai Miftah mengingatkan bahwa umat Islam yang ingin terjun ke dunia digital wajib memahami tanggung jawab moral dan spiritualnya. Karena keuntungan materi tidak boleh mengorbankan prinsip agama. (Latifahtul Jannah, ed: Nashih)


Tags: affiliator, hukum affiliator, affiliator menurut islam, fatwa mui, majelis ulama indonesia