Membangun Jembatan Peradaban

Membangun Jembatan Peradaban

Oleh: Yanuardi Syukur, Pengurus Komisi Hubungan Luar Negeri dan Kerja Sama Internasional MUI

Pada 27 Mei 2023, Sekretaris Jenderal Rabithah Alam Islami Syekh Dr Mohammad Al Issa bertemu dengan Paus Fransiskus di Santa Marta, Vatikan. Di antara topik menarik yang diperbincangkan dua tokoh besar tersebut adalah terkait nilai-nilai bersama, jembatan antarperadaban, dan inisiatif yang efektif-berkelanjutan.

Terkait nilai-nilai bersama, setiap peradaban di dunia ini pada dasarnya memiliki nilai-nilai bersama. Nilai-nilai tersebut seperti dialog dan kerja sama untuk mencapai kebaikan bersama. Sepanjang sejarah, manusia selalu berkumpul, berinteraksi, membangun aliansi untuk mencapai tujuan bersama.

Nilai-nilai bersama itu didapatkan melalui dialog. Dalam dialog, tiap peradaban akan menceritakan apa hal-hal mendasar yang mereka yakini dan praktikkan serta apa hal-hal universal yang dapat disinergikan demi kepentingan bersama di tengah perbedaan yang ada.

Allah SWT mengajarkan kita untuk mengedepankan dialog. Misalnya dalam QS Al Baqarah 30 ada ayat tentang dialog Allah SWT kepada malaikat sebagai berikut:

وَإِذْ قَالَ رَبُّكَ لِلْمَلَٰٓئِكَةِ إِنِّى جَاعِلٌ فِى ٱلْأَرْضِ خَلِيفَةً ۖ قَالُوٓا۟ أَتَجْعَلُ فِيهَا مَن يُفْسِدُ فِيهَا وَيَسْفِكُ ٱلدِّمَآءَ وَنَحْنُ نُسَبِّحُ بِحَمْدِكَ وَنُقَدِّسُ لَكَ ۖ قَالَ إِنِّىٓ أَعْلَمُ مَا لَا تَعْلَمُونَ

Artinya, “Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para Malaikat: “Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi”. Mereka berkata: “Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau?” Tuhan berfirman: “Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui.”

Dialog jadi penting dalam menciptakannya kehidupan yang harmonis. Apalagi kita manusia kerap terdistraksi oleh berbagai kegiatan yang membuat kita lupa. Lewat dialog, sifat lupa itu bisa diatasi dan kesadaran untuk hidup bersama pun terawat lebih baik.

Di Indonesia, konsep Bhinneka Tunggal Ika adalah nilai tertinggi dari pertemuan puncak akal-akal manusia Indonesia untuk mencapai tujuan bersama. Bahwa perbedaan kultur di lebih 17 ribu pulau di negeri ini harus dihargai, dan olehnya itu nilai-nilai keindonesiaan universal itulah yang perlu diperjuangkan dalam satu tarikan nafas.

Penghargaan antardiversitas serta menjaga nilai-nilai bersama menjadi kunci bagi interaksi berkelanjutan antarkultur, antaragama, bahkan antarperadaban. Maka, “Benturan Peradaban” atau //Clash of Civilization// dalam ceramah Huntington di American Enterprise Institute (1992) dan dilanjutkan tulisannya di Foreign Affairs (1993) bahwa identitas budaya dan agama seseorang akan menjadi sumber konflik utama di dunia pasca-Perang Dingin, belakangan ini menjadi tidak relevan.

Sebab, ada kecenderungan masyarakat dunia untuk saling memahami //”liyan” (others,// orang lain) lebih dalam seiring dengan meningkatnya pendidikan, tersebarnya informasi lewat media sosial, dan kemudahan transportasi yang membuat manusia semakin terkoneksi lebih cepat. Yang ada, benturan paling berat adalah benturan antarkepentingan pragmatis yang berkelindan di dalamnya perebutan kekuasaan, bukan antarperadaban yang berbasis pada identitas budaya dan agama.

Nilai-nilai bersama ini rasanya sulit kita miliki jika tidak ada guru (teladan), tidak ada proses belajar, dan tidak ada interaksi atau pergaulan dengan mereka yang berbeda. Mengutip Buya Hamka dalam “1001 Soal Kehidupan” (2016) ketika ditanya tentang bagaimana transformasi pemuda berpendidikan Barat untuk mengetahui hakikat Islam, beliau berkata, “Jalan yang pertama ialah berguru, jalan yang kedua ialah membaca, jalan yang ketiga ialah bergaul.” Artinya, transformasi nilai-nilai bersama, dalam konteks semangat ini, hanya bisa diperoleh dengan adanya guru, proses, dan interaksi.

Soal jembatan antarperadaban juga menarik untuk diperhatikan. Ketika berbicara tentang jembatan, orang cenderung mengontraskannya dengan dinding. Bangunlah jembatan, bukan dinding. Berbagai kampanye perdamaian mengangkat isu itu, termasuk dalam tema konferensi akademik. Tak terkecuali dalam kerjasama antarperadaban juga demikian.

Pertemuan antartokoh agama tidak terlepas dari peran-peran menjadi jembatan dialog, jembatan saling memahami, serta jembatan saling bersinergi untuk kepentingan bersama. Syekh Al Azhar Mesir Prof Ahmed Al Thayyeb bahkan pernah menyepakati ‘dokumen persaudaraan manusia untuk perdamaian dunia dan hidup bersama’ dengan Pemimpin Vatikan Paus Fransiskus di Abu Dhabi pada 4 Februari 2019. Hari tersebut kemudian ditetapkan PBB sebagai ‘Hari Persaudaraan Manusia Internasional.’

Imam Al Thayyeb juga pernah menjalin kesepakatan dengan Paus dari Gereja Koptik, Tawadros II, tentang perlunya mengkonsolidasikan nilai-nilai koeksistensi (saling menghidupkan), kewarganegaraan dan perdamaian. Tujuannya agar terjadi ketahanan dalam menghadapi ideologi ekstremisme di kawasan Timur Tengah.

Syekh Ahmad Al Thayyeb menyampaikan perlunya membawa prinsip dan etika agama ke dalam realitas yang bergolak. Keberhasilan langkah ini perlu dilakukan dengan menghilangkan sisa-sisa ketegangan dan kekhawatiran antara pemuka agama dan ulama mereka.

Sekjen Komite Tinggi Persaudaraan Manusia, Muhammad Abdul Salam menulis buku bagus “The Pope and The Grand Imam: a Testimony to the Birth of the Human Fraternity Document” (2021). Buku tersebut menarik sebab dimulai dari kunjungan Imam Besar ke Vatikan, kemudian kunjungan Paus Fransiskus ke Al-Azhar, setelah itu hubungan persaudaraan antara kedua pemimpin tumbuh lebih jauh melalui pertemuan berkelanjutan yang mereka lakukan bersama.

Dalam salah satu pertemuan bersama inilah ide persaudaraan manusia lahir. Satu hal yang menarik, sebagaimana tulis Abdul Salam dalam buku versi bahasa Arab (terbitan Muslim Council of Elders, 2021), adalah ketika ia menampilkan satu foto yang terdiri dari enam orang di atas meja bertaplak putih yang di situlah memunculkan pikiran tentang //ukhuwah insaniyah// yang kemudian maujud menjadi dokumen persaudaraan kemanusiaan tersebut. Rupanya, ‘diplomasi kuliner’ memainkan peran signifikan dalam lahirnya dokumen berharga.

Foto-foto bagaimana kedua tokoh karismatik itu memperbaiki draf kesepakatan juga menarik. Di sini terlihat bahwa Abdul Salam betul-betul memahami pentingnya hal-hal sederhana yang akan berdampak luas bagi masyarakat dunia. Di sini, dokumentasi kerja-kerja tokoh karismatik menjadi penting untuk diabadikan.

Hal lain yang penting juga adalah terkait Inisiatif efektif-berkelanjutan. Jembatan antarperadaban hanya akan jadi jembatan pasif jika tidak ada inisiatif. Untuk itu, dibutuhkan akal-akal kreatif dan inovatif-pro aktif untuk menjaga nilai-nilai lama yang konstruktif untuk kepentingan bersama serta merawat nilai-nilai dengan cara-cara yang adaptif.

Dewasa ini kita hidup di tengah inovasi teknologi dan pemikiran akseleratif umat manusia. Berbagai pendekatan progresif untuk menjaga dan menyegarkan nilai-nilai bersama sangat perlu dilakukan. Sebab, ada kecenderungan manusia untuk lupa dengan kesepakatan yang lama. Untuk itu, pendekatan inovatif yang efektif dan berkelanjutan sangat perlu untuk ditemukan dan dikembangkan terus.

Prof Muhammad Quraish Shihab dalam “Mutiara Hati” (2014) menulis, “Lautan jauh lebih luas daripada daratan. Kebutuhan manusia jauh lebih banyak daripada kemampuannya secara mandiri, karena manusia tercipta dalam keadaan lemah. Tetapi ia kuat dengan bekerja sama. Kerja sama menjadikannya seperti bangunan yang beragam bahannya, namun saling menopang.”

Syekh Al Issa pernah menyampaikan pentingnya Islam moderat, promosi perdamaian, toleransi dan cinta. Beliau berkata, “Kita harus mengesampingkan perbedaan kita dan merangkul keragaman agama dan budaya kita. Sebagaimana Piagam Makkah memerintahkan kita, kita harus membangun ikatan budaya dan agama satu sama lain, memperdalam pemahaman antara komunitas yang berbeda, membangun kemitraan yang beradab,” serta kita harus berdiri bergandengan tangan melawan kebencian dan menyatakan sekarang dan selamanya bahwa setiap budaya berhak untuk hidup.

//Last but not least,// kesadaran untuk saling menopang sesama umat beragama penting untuk dijaga dan dirawat oleh kita semua. Langkah Imam Al Azhar dan Paus Fransiskus adalah bagian dari inspirasi untuk bertoleransi pada hal-hal yang berbeda, dan saling menopang pada hal-hal yang menyangkut kemanusiaan universal.

Menjadi jembatan kemaslahatan antarumat manusia adalah kebaikan. Karena manusia juga punya sifat fujur (berdosa) selain sifat takwa maka Allah SWT mengingatkan kita untuk tidak membuat kerusakan. Artinya sama dengan berbuatlah kebaikan. Allah SWT mengingatkan kita dalam firman-Nya di QS Al A’raaf 56:
وَلَا تُفْسِدُوا فِي الْأَرْضِ بَعْدَ إِصْلَاحِهَا وَادْعُوهُ خَوْفًا وَطَمَعًا ۚ إِنَّ رَحْمَتَ اللَّهِ قَرِيبٌ مِنَ الْمُحْسِنِينَ
“Dan janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi, sesudah (Allah) memperbaikinya dan berdoalah kepada-Nya dengan rasa takut (tidak akan diterima) dan harapan (akan dikabulkan). Sesungguhnya rahmat Allah amat dekat kepada orang-orang yang berbuat baik.”

TAGING: Peradaban, dialog antarperadaban, perdamaian dunia, persaudaraan kemanusiaan, persaudaraan internasional, paus fransiskus, syekh al azhar ahmed el thayeb, al araf ayat 56