Peran Komunitas Global Menangkal Islamofobia

Peran Komunitas Global Menangkal Islamofobia

11/08/2024 21:38 JUNAIDI


Oleh Yanuardi Syukur, Pengurus Komisi Hubungan Luar Negeri dan Kerjasama Internasional MUI

Sejak 30 Juli 2024-sekarang, terjadi kerusuhan yang dilakukan oleh kelompok sayap kanan English Defence League (EDL) dan protes anti-imigrasi telah terjadi di Inggris, Irlandia Utara, dan Wales. Kerusuhan tersebut terjadi setelah penusukan massal di Southport pada 29 Juli, yang menewaskan tiga anak. Penyerang dituduh secara keliru di media sosial sebagai seorang Muslim dan/atau pencari suaka. Misinformasi itu mengakibatkan apa yang disebut CNN (7/8/2024) sebagai “kekacauan terburuk yang pernah terjadi dalam lebih dari satu dekade” dalam bentuk tensi anti-Muslim, anti-imigran, penjarahan toko, pembakaran perpustakaan, dan penyerbuan hotel yang menampung pencari suaka.

Sebelum kerusuhan itu, di Inggris sedang alot perdebatan soal definisi ‘ekstremisme’ yang dikhawatirkan akan mengikis kebebasan berbicara dan kebebasan sipil. Ketegangan ini tidak terlepas dari efek serangan Hamas terhadap Israel pada 7 Oktober 2023 lalu yang juga meningkatkan tensi domestik di Inggris. Tensi ini juga terjadi di negara lain. Tensi anti-Israel secara global ini entah kenapa disikapi oleh sebagian kelompok kanan garis keras untuk melawan umat Islam dan meningkatkan tensi islamofobia terwujud dalam berbagai kegiatan anti-Muslim.

Persepsi negatif terhadap Islam
Kelompok Islamofobia EDL berhasil membangun narasi yang kuat bahwa “kaum Muslim adalah akar penyebab semua masalah” yang kemudian mereka sebar di berbagai platform media sosial, media arus utama, dan berbagai lingkaran politik. Serangan online itu menuduh dan menyudutkan umat Islam sebagai biang keladi dari masalah nasional. Counter-narasi dibutuhkan sekali untuk melawan narasi-narasi negatif dan tidak berimbang tentang umat Islam. Kelompok tersebut sebenarnya dapat dianggap sebagai kelompok teroris, seperti yang dikatakan oleh mantan kepala kontra-terorisme Inggris, Neil Basu yang mengacu pada upaya pembakaran gedung-gedung yang ditempati oleh Muslim atau pencari suaka dan mengintimidasi sebagian masyarakat (Guardian, 5/8/2024).

Peneliti kelompok ekstremis sayap kanan dan partai politik di Inggris dari Nottingham Trent University, Alice Sibley dalam Terrorism, Violent Radicalisation, and Mental Health (Oxford University Press, 2021) menjelaskan tentang karakter islamofobia kelompok English Defence League (EDL) bahwa mereka adalah kelompok anti-jihad sayap kanan Inggris yang sebagian besar beroperasi secara daring melalui media sosial.

Menurut Sibley, pada 2012, 3 persen dari masyarakat Inggris melaporkan bahwa mereka setuju dengan metode dan nilai-nilai EDL. Sebuah studi pada 2011 menemukan tiga alasan utama untuk mendukung EDL adalah: ancaman yang dirasakan dari Islam dan imigrasi; untuk melindungi identitas budaya mereka; dan kekecewaan terhadap kehidupan mereka dan kelas penguasa politik.

Selain itu, lanjut Sibley, variabel-variabel yang membuat seorang individu rentan untuk direkrut oleh EDL—dan ini pula yang menjelaskan mengapa provokasi EDL tersebut berjalan begitu cepat di berbagai kota di Inggris—adalah karena (a) kurangnya pembedaan antara Muslim dan teroris, (b) kepercayaan pada teori konspirasi, (c) perubahan budaya lokal yang tiba-tiba, (d) kurangnya rasa memiliki, (e) ancaman yang dirasakan terhadap nilai-nilai Inggris, (f) kurangnya identifikasi dengan partai politik, (g) kesulitan ekonomi, serta faktor usia, dan jenis kelamin.

Professor Khaled Beydoun, seorang pakar Islamofobia dari Arizona State University dan penulis buku American Islamophobia: Understanding the Roots and Rise of Fear (University of California, 2018), mengidentifikasi tiga jenis Islamofobia, yakni struktural, individual, dan dialektis. Mengutip Institute for Social Policy and Understanding (ISPU), sebuah lembaga penelitian dan pendidikan tentang Muslim Amerika untuk mendukung dialog dan pengambilan keputusan yang terinformasi dengan baik, ketiga hal tersebut dijelaskan bahwa islamofobia struktural tercermin dalam undang-undang anti-Muslim yang dilembagakan dan selanjutnya diabadikan melalui islamofobia dialektis melalui kebijakan, bias dalam representasi media dan dalam sistem hukum, dan penggunaan retorika dan pernyataan anti-Muslim oleh kandidat politik dan pejabat terpilih atau yang ditunjuk.

Pada tingkat masyarakat, munculnya kelompok-kelompok pembenci anti-Muslim, unjuk rasa anti-Muslim, kegiatan terorganisasi dan anti-masjid, termasuk penentangan terhadap pembangunan atau perluasan masjid, vandalisme, dan penentangan terhadap pemukiman kembali pengungsi adalah tindakan Islamofobia. Sedangkan pada tingkat individu pribadi, islamofobia dapat bentuk pelecehan dan kekerasan. Lantas, bagaimana menangkal gerakan islamofobia? Setidaknya, tiga jalan dapat ditempuh dalam tiga ranah, yakni negara, komunitas Islam dan personal.

1. ‘Strategi Nasional’ Tiap Negara Mendukung Resolusi Majelis Umum PBB
Secara global, perlu adanya dukungan global terhadap Resolusi Majelis Umum PBB yang telah mengadopsi resolusi yang disponsori 60 negara anggota Organisasi Konferensi Islam (OKI) dan menetapkan 15 Maret sebagai “International day to combat Islamophobia.” Secara global, dukungan tersebut perlu dipastikan ada di berbagai belahan dunia, terutama negara-negara yang rentan terhadap aksi islamofobia. Dalam konferensi internasional “Embracing Diversity: Tackling Islamophobia in 2024”, di Baku, Azerbaijan (6-8 Maret 2024), peserta menyepakati bahwa “langkah-langkah politik dan internasional diperlukan untuk memerangi Islamofobia”, terutama di negara-negara Barat dimana islamofobia kerap muncul, termasuk di Inggris baru-baru ini.
Secara nasional, tiap negara perlu strategi nasional untuk memerangi Islamofobia. Pada akhir 2023, Presiden AS Joe Biden mengembangkan strategi nasional untuk memerangi islamofobia di tengah skeptisisme Muslim Amerika atas dukungan kuat AS terhap serangan militer Israel terhadap Hamas dan masyarakat Palestina di Gaza. Strategi tersebut melibatkan anggota parlemen, kelompok advokasi, pemimpin masyarakat dengan pemerintah untuk memastikan warga masyarakat memiliki kebebasan untuk menjalani hidup dengan rasa aman dan tanpa rasa takut.

Merujuk Briefing Room White House (16/6/2024), pada 15 Maret 2024, Presiden Biden menjadi Presiden AS pertama yang mengakui “International day to combat Islamophobia.”

Dalam pernyataannya, Presiden Biden mengakui kekerasan dan kebencian yang terlalu sering dihadapi umat Islam di seluruh dunia karena keyakinan agama mereka—dan kebangkitan islamofobia yang buruk setelah perang yang menghancurkan di Gaza. Biden mendedikasikan kembali pemerintahannya untuk membantu membangun dunia di mana orang-orang dari semua agama dan semua latar belakang bebas untuk hidup tanpa takut akan penganiayaan—sebuah statement yang sangat penting, dan tentu saja masyarakat dunia mengharapkan AS mempraktikkannya secara konsisten dalam politik dalam negeri dan tentu saja luar negeri.
Selain itu, perlu pula adanya gerakan untuk menangkal islamofobia institusional. Seorang calon pemimpin Partai Konservatif Inggris Robert Jenrick (42 tahun) yang pernah menjabat sebagai Menteri Imigrasi (2022-2023) misalnya pernah mengatakan kepada Sky News, “…I thought it was quite wrong that somebody could shout ‘Allahu Akbar’ on the streets of London and not be immediately arrested...” (Guardian, 7/8/2024).
Menurut Jenrick, bahwa “orang-orang yang mengucapkan ‘Allahu Akbar’ di jalanan London dalam demonstrasi harus segera ditangkap.” Ungkapan tersebut secara langsung melakukan stigmatisasi negatif terhadap umat Islam yang menyamakan setiap Muslim sebagai ekstremis. Padahal, kata ‘Allahu Akbar’ berarti ‘Allah Maha Besar’ dan bermakna ibadah saat diucapkan seorang Muslim, atau merupakan kalimat semangat bagi tiap Muslim untuk memperjuangkan kebenaran, termasuk keberpihakan terhadap Palestina yang terzalimi akibat dibombardir oleh Israel.

2. Sinergi Pro-aktif Antarkomunitas Islam Internasional
Komunitas Islam internasional telah melakukan berbagai cara untuk menangkal islamofobia. World Muslim League (WML) menyambut baik pengesahan resolusi oleh Majelis Umum PBB tentang langkah-langkah untuk memerangi Islamofobia, dan penunjukan utusan khusus Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk memerangi islamofobia.

Sekretaris Jendeal MWL, Sheikh Dr Mohammed bin Abdulkarim Al-Issa menegaskan bahwa dalam situasi internasional saat ini terjadi peningkatan yang mengkhawatirkan dalam ujaran kebencian, termasuk slogan-slogan dan metodenya, yang mengancam perdamaian global dan keharmonisan masyarakatnya dan untuk itu ia menyerukan langkah-langkah perbaikan, termasuk pemberlakuan undang-undang nasional dan internasional yang efektif yang mengkriminalisasi Islamofobia dan menggolongkannya sebagai ancaman bagi stabilitas nasional dan internasional.

Dia juga memperingatkan terhadap fenomena impunitas, tidak adanya akuntabilitas, dan eskalasi konsep benturan peradaban dan menganjurkan untuk memerangi masalah-masalah ini dengan terlibat dalam langkah-langkah pencegahan di tingkat keluarga, pendidikan, dan platform-platform yang berpengaruh (WML.org, 16/3/2024).

Umat Islam dan negara perlu bersatu untuk mencegah islamofobia dan berjuang membentuk peradaban yang tinggi. Sekretaris Jenderal Muslim Council of Britain keturunan Pakistan-Skotlandia, Zara Mohammed menggunakan kata ‘progressive civilization’ atau peradaban yang tinggi sebagai suatu kontribusi dalam penangkalan terhadap islamofobia. Artinya, adanya islamofobia menunjukkan bahwa kita tengah berada dalam ‘regressive civilization’ atau peradaban yang rendah. Peradaban yang tinggi adalah peradaban dimana manusia saling menghormati, bertoleransi, dan sama-sama membentuk dunia yang damai untuk semua.

Majelis Ulama Indonesia, sebagai payung ormas Islam di Indonesia secara konsisten menyuarakan perlawanan terhadap islamofobia dengan berbagai cara, baik itu fatwa, dakwah, ukhuwah maupun diplomasi sesuai dengan orientasi perkhidmatan dan peran MUI yang dipimpin oleh Professor Sudarnoto Abdul Hakim, Ketua Bidang HLNKI MUI, dan Dubes Bunyan Saptomo, Ketua Komisi HLNKI MUI. Peran-peran itu tidak hanya dilakukan di dalam negeri, akan tetapi juga di luar negeri baik yang dilakukan secara formal institusional maupun secara personal pada banyak kesempatan. Terakhir misalnya, MUI menggandeng para dai dan tokoh dakwah di kawasan Asia Tenggara dalam sebuah konferensi di Jakarta dan berhasil mendeklarasikan International Da’i Forum of Southeast Asia dengan sekjen Dr KH M Cholil Nafis yang menjadi superhub bagi kerja-kerja dakwah di kawasan.
Selain itu, harus ada kelompok kecil yang berfungsi sebagai penangkal Islamofobia di media sosial. Kelompok ini perlu dimiliki oleh komunitas Islam yang secara rutin ‘berpatroli’ melihat lalu-lintas issue di media sosial, dan ketika melihat gejala misinformasi yang menyerang umat Islam maka dengan segera kelompok tersebut membuat counter balik dengan menampilkan informasi yang benar.

Tugas kelompok tersebut adalah melakukan fact-check atau mengecek fakta, kemudian membuat narasi baru yang benar. Satu hal penting adalah perlunya membangun jejaring penangkal Islamofobia di kalangan komunitas Islam di media sosial. Tiap komunitas Islam perlu memiliki kelompok anti-islamofobia yang saling bersinergi dengan kelompok lainnya.

Sinergi itu akan membuat gerakan penangkalan islamofobia berjalan lebih efektif dan massif. Saat ini, sirkulasi berita hoaks bergerak lebih cepat ketimbang kemampuan orang dalam menangkal issue tersebut. Maka, sinergi antarkomunitas Islam sangat dibutuhkan.

Terkait dengan itu, tiap komunitas—terutama di Barat—perlu memiliki pelatihan menghadapi aksi islamofobia. Council on American-Islamic Relations atau Dewan Hubungan Amerika-Islam (CAIR), sebuah kelompok advokasi dan hak-hak sipil Muslim yang berkantor pusat di Capitol Hill di Washington, D.C yang memiliki pelatihan bagaimana membantu seseorang yang dilecehkan di tempat umum dengan memproteksi diri agar tidak menjadi sasaran kekerasan, merekam, atau menelepon polisi.

Karena mahasiswa Palestina, Muslim dan Arab kerap menjadi korban islamofobia, maka CAIR memberikan advis seperti tetap waspada saat berjalan dengan melepas headphone dan earpod dan berjalanlah di tempat yang cukup terang, sebaiknya bersama teman; berpenampilan asertif (tegas dan jelas) serta percaya diri (hindari terlihat seperti sasaran empuk).

Jika membawa kendaraan, menurut CAIR: parkirlah di tempat yang cukup terang; waspadai lingkungan sekitar saat masuk dan keluar dari kendaraan. Kemudian, beri tahu teman dan keluarga ke mana hendak akan pergi dan pertimbangkan untuk mengunduh aplikasi seperti Life360 yang memungkinkan keluarga dan teman melacak posisi terakhir.

Last but not least, menurut CAIR, hindarilah belajar atau beribadah di daerah terpencil. Advis ini relevan untuk dipraktikkan, termasuk bagi Muslim Indonesia yang misalnya tugas belajar, bekerja atau berkunjung ke AS secara khusus—atau di masyarakat Barat secara umum—yang harus kita sadari walaupun Islam telah tersebar luas tapi ada saja yang masih phobia terhadap Islam.

3. Menggencarkan Dakwah Internasional
Dakwah adalah kewajiban tiap Muslim, termasuk dalam menangkal islamofobia. Dalam konteks minimnya pengetahuan keislaman, atau kesalahan narasi terhadap Islam, mereka yang phobia terhadap Islam sejatinya membutuhkan narasi Islam untuk mereka pikirkan yang bisa jadi memengaruhi cara pandang mereka. Allah SWT berfirman,
وَلْتَكُنْ مِّنْكُمْ اُمَّةٌ يَّدْعُوْنَ اِلَى الْخَيْرِ وَيَأْمُرُوْنَ بِالْمَعْرُوْفِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِۗ وَاُولٰۤىِٕكَ هُمُ الْمُفْلِحُوْنَ
Artinya, “Hendaklah ada di antara kamu segolongan orang yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh (berbuat) yang makruf, dan mencegah dari yang mungkar. Mereka itulah orang-orang yang beruntung.” (QS Ali Imran: 104)

Rasanya, bagi mereka yang sulit mereka kebenaran, cukup berat untuk mengubah pandangannya secara drastis, akan tetapi ‘input pengetahuan baru’ dalam pikiran sedikit banyaknya akan memengaruhi atau bahkan dapat mengubah cara pandang seseorang terhadap Islam. Artinya, dakwah Islam harus terus disampaikan, terlepas dari apakah akan mengubah pemikirannya atau tidak—tanpa ada paksaan. Allah SWT berfirman:

لَآ اِكْرَاهَ فِى الدِّيْنِۗ قَدْ تَّبَيَّنَ الرُّشْدُ مِنَ الْغَيِّ ۚ فَمَنْ يَّكْفُرْ بِالطَّاغُوْتِ وَيُؤْمِنْۢ بِاللّٰهِ فَقَدِ اسْتَمْسَكَ بِالْعُرْوَةِ الْوُثْقٰى لَا انْفِصَامَ لَهَا ۗوَاللّٰهُ سَمِيْعٌ عَلِيْمٌ

Artinya, “Tidak ada paksaan dalam (menganut) agama (Islam), sesungguhnya telah jelas (perbedaan) antara jalan yang benar dengan jalan yang sesat. Barang siapa ingkar kepada Tagut dan beriman kepada Allah, maka sungguh, dia telah berpegang (teguh) pada tali yang sangat kuat yang tidak akan putus. Allah Mahamendengar, Mahamengetahui.” (QS Al-Baqarah: 256)

Ayat ini menekankan bahwa keimanan harus datang dari keyakinan pribadi, bukan melalui paksaan atau tekanan. Karena ‘tidak ada paksaan’, maka perubahan perspektif seseorang sangat mungkin terjadi sebab adanya informasi baru yang ia terima.

Pentingnya menjadi penunjuk jalan bagi sesama, dijelaskan oleh Rasulullah SAW dalam sabdanya, “Barang siapa yang menunjukkan jalan kebaikan, maka ia akan mendapatkan pahala seperti pahala orang yang melakukannya.” (HR Muslim)

Saat ini tidak dapat dimungkiri bahwa individu tertentu memiliki pengaruh dan dampak luas di media sosial. Penting bagi tiap Muslim dan mereka yang anti-islamofobia untuk menyebarkan narasi yang menyatukan sekaligus meng-counter narasi negatif tentang Islam. Di Twitter dan Instagram misalnya, narasi-narasi oleh seorang tokoh atau influencer memiliki daya pengaruh yang luar biasa kepada netizen dan media. Untuk itu, peranan influencer anti-Islamofobia penting dalam konteks ini. Sebab, ujian kebencian terhadap Muslim termasuk cukup meningkat yang dipicu oleh para ekstremis di platform media sosial seperti Twitter atau X, Facebook dan Instagram (NYT, 15/11/2023).
Menarik dari Zara Mohammed bahwa penting bagi tiap Muslim untuk menjadi tangguh dalam menghadapi penggambaran negatif Islam dan Muslim di media. Untuk itu, menurut Zara, ketangguhan tersebut membutuhkan kekuatan untuk mengubah narasi negatif menjadi yang positif terhadap Islam. Kemampuan untuk mengubah narasi itu kini sangat kita butuhkan, terutama dalam dakwah melawan Islamofobia di media sosial.

Konten yang penting untuk disebarkan adalah misalnya terkait Islam adalah agama yang penuh belas kasih, kebaikan, keadilan, dan kedamaian, sebagaimana didukung oleh teks-teks yurisprudensi dan biografi kehidupan pribadi mulia Nabi Muhammad SAW sepanjang hidupnya.

Ajaran Islam, olehnya itu tidak diwakili oleh mereka yang telah menyimpang dari prinsip-prinsip dan nilai-nilainya, atau oleh mereka yang mendistorsi makna teks-teksnya untuk membenarkan ekstremisme dan kekerasan. Secara umum, konten penting di sini adalah terkait promosi nilai-nilai wasathiyyatul Islam dalam narasi perdamaian, koeksistensi, dan saling menghormati di antara para pengikut agama dan peradaban yang berbeda.*

Tags: mui, plaestina