• Redaksi
  • Kontak
  • Kirim Tulisan
Jumat, 27 Mei 2022
Majelis Ulama Indonesia
No Result
View All Result
  • Home
  • Profil
    • Sejarah MUI
      • Kepengurusan MUI 2015-2020
      • Komisi 2015-2020
        • Komisi Fatwa 2015-2020
        • Komisi Informasi dan Komunikasi 2015-2020
        • Komisi Hukum dan Perundang-undangan (Kumdang) 2015-2020
        • Komisi Dakwah dan Pengembangan Masyarakat 2015-2020
        • Komisi Pendidikan dan Kaderisasi 2015-2020
        • Komisi Pengkajian dan Penelitian 2015-2020
        • Komisi Perempuan, Remaja, dan Keluarga (PRK) 2015-2020
        • Komisi Ukhuwah Islamiyah 2015-2020
        • Komisi Kerukunan AntarUmat Beragama 2015-2020
        • Komisi Pembinaan Seni Budaya Islam 2015-2020
        • Komisi Pemberdayaan Ekonomi Umat (KPEU) 2015-2020
        • Komisi Luar Negeri dan Hubungan Internasional 2015-2020
    • Kepengurusan MUI
    • Komisi
      • KOMISI FATWA
      • KOMISI UKHUWAH ISLAMIYAH
      • KOMISI PENDIDIKAN DAN KADERISASI
      • KOMISI DAKWAH
      • KOMISI PENGKAJIAN DAN PENELITIAN
      • KOMISI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
      • KOMISI PEMBERDAYAAN EKONOMI UMAT
      • KOMISI PEREMPUAN, REMAJA DAN KELUARGA
      • KOMISI INFORMASI DAN KOMUNIKASI
      • KOMISI KERUKUNAN ANTAR UMAT BERAGAMA
      • KOMISI HUBUNGAN LUAR NEGERI DAN KERJASAMA INTERNASIONAL
    • Lembaga
      • LPPOM MUI
      • Dewan Syariah Nasional
      • LSP Majelis Ulama Indonesia
      • Dewan Halal Nasional
      • Islamic Dakwah Fund (IDF)
      • LSP DSN MUI
      • PINBAS
      • Basyarnas MUI
      • LPLH & SDA
        • Eco Masjid
      • Ganas Annar
      • LPBKI
  • Berita
    • Hoax
  • Produk
    • Majalah
    • Infografis
    • TV MUI
  • Fatwa
  • Konsultasi
    • Tanya Ulama
    • Bimbingan Syariah
      • Aqidah Islamiyah
      • Tuntunan Ibadah
      • Ekonomi Syariah
      • Etika Sosial/Politik
      • Hukum Keluarga
      • Paradigma Islam
    • Tanya Jawab Keislaman
      • Akhlaq
      • Aqidah
      • Ibadah
      • Muamalah
    • Jadwal Layanan Konsultasi
  • Khutbah
  • MUI Provinsi
    • MPU Aceh
    • MUI Sumatera Utara
    • MUI Sumatera Barat
    • MUI Lampung
    • MUI DKI Jakarta
    • MUI Jawa Barat
    • MUI Jawa Tengah
    • MUI Jawa Timur
    • MUI Sulawesi Selatan
Majelis Ulama Indonesia
  • Home
  • Profil
    • Sejarah MUI
      • Kepengurusan MUI 2015-2020
      • Komisi 2015-2020
        • Komisi Fatwa 2015-2020
        • Komisi Informasi dan Komunikasi 2015-2020
        • Komisi Hukum dan Perundang-undangan (Kumdang) 2015-2020
        • Komisi Dakwah dan Pengembangan Masyarakat 2015-2020
        • Komisi Pendidikan dan Kaderisasi 2015-2020
        • Komisi Pengkajian dan Penelitian 2015-2020
        • Komisi Perempuan, Remaja, dan Keluarga (PRK) 2015-2020
        • Komisi Ukhuwah Islamiyah 2015-2020
        • Komisi Kerukunan AntarUmat Beragama 2015-2020
        • Komisi Pembinaan Seni Budaya Islam 2015-2020
        • Komisi Pemberdayaan Ekonomi Umat (KPEU) 2015-2020
        • Komisi Luar Negeri dan Hubungan Internasional 2015-2020
    • Kepengurusan MUI
    • Komisi
      • KOMISI FATWA
      • KOMISI UKHUWAH ISLAMIYAH
      • KOMISI PENDIDIKAN DAN KADERISASI
      • KOMISI DAKWAH
      • KOMISI PENGKAJIAN DAN PENELITIAN
      • KOMISI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
      • KOMISI PEMBERDAYAAN EKONOMI UMAT
      • KOMISI PEREMPUAN, REMAJA DAN KELUARGA
      • KOMISI INFORMASI DAN KOMUNIKASI
      • KOMISI KERUKUNAN ANTAR UMAT BERAGAMA
      • KOMISI HUBUNGAN LUAR NEGERI DAN KERJASAMA INTERNASIONAL
    • Lembaga
      • LPPOM MUI
      • Dewan Syariah Nasional
      • LSP Majelis Ulama Indonesia
      • Dewan Halal Nasional
      • Islamic Dakwah Fund (IDF)
      • LSP DSN MUI
      • PINBAS
      • Basyarnas MUI
      • LPLH & SDA
        • Eco Masjid
      • Ganas Annar
      • LPBKI
  • Berita
    • Hoax
  • Produk
    • Majalah
    • Infografis
    • TV MUI
  • Fatwa
  • Konsultasi
    • Tanya Ulama
    • Bimbingan Syariah
      • Aqidah Islamiyah
      • Tuntunan Ibadah
      • Ekonomi Syariah
      • Etika Sosial/Politik
      • Hukum Keluarga
      • Paradigma Islam
    • Tanya Jawab Keislaman
      • Akhlaq
      • Aqidah
      • Ibadah
      • Muamalah
    • Jadwal Layanan Konsultasi
  • Khutbah
  • MUI Provinsi
    • MPU Aceh
    • MUI Sumatera Utara
    • MUI Sumatera Barat
    • MUI Lampung
    • MUI DKI Jakarta
    • MUI Jawa Barat
    • MUI Jawa Tengah
    • MUI Jawa Timur
    • MUI Sulawesi Selatan
No Result
View All Result
Majelis Ulama Indonesia
No Result
View All Result
Home Berita Halal MUI

Hukum Konsumsi Ulat Jerman

by admin
15 Juni 2020
in Halal MUI
Reading Time: 4 mins read
0
Hukum Konsumsi Ulat Jerman
734
SHARES
4.1k
VIEWS
FacebookTwitterWhatsappTelegramLinkedin

Belakangan ini banyak orang mengolah Ulat Jerman itu untuk menjadi bahan konsumsi. Misalnya dibuat menjadi campuran sambal, atau rempeyek, seperti rempeyek udang/ebi, dll. Ada yang menyebutkan kandungan gizinya sangat baik.

Bahkan karena kandungan lemaknya juga tinggi, maka ada yang malah sengaja membudi-dayakannya untuk diolah menjadi minyak goreng. Karena dianggap lebih ramah lingkungan. Sebagai pengganti minyak goreng dari kelapa sawit, yang memerlukan lahan sangat luas, dan dianggap cenderung merusak (keseimbangan) lingkungan. 

Melihat hal tersebut, para ulama berpendapat bahwa sejatinya, penetapan hukum dalam Islam itu sederhana. Yaitu merujuk pada ketentuan yang disebutkan di dalam Al-Qur’an dan Al-Hadits. Dari sini, maka dapat dipahami, makanan yang haram itu hanya sedikit, sebagaimana yang disebutkan secara spesifik di dalam Al-Qur’an maupun Al-Hadits. Sedangkan selebihnya, yang halal itu, sangat banyak.

Dari sisi nash syariah, hukum tentang makan Ulat Jerman ini tidak ada di dalam Al-Qur’an maupun Al-Hadits. Juga tidak ada dalil nash yang sharih (secara jelas dan tegas) menyatakan keharamannya. Dalam hal ini, maka sebagai petunjuk dapat merujuk pada Kaidah Fiqhiyyah yang menyebutkan: “Al-ashlu fi al-asy-ya’i al-ibaahah, illaa maa dalla daliilu ‘alaa tahriimihi” (Segala sesuatu itu pada dasarnya adalah mubah atau boleh, kecuali ada dalil yang mengharamkannya). Dengan demikian dalam kaidah syariah, mengkonsumsi Ulat Jerman itu termasuk kategori yang didiamkan. Oleh karenanya, sepanjang tidak dijelaskan dengan tegas tentang keharamannya, atau tidak menjijikkan, atau tidak membahayakan, maka Ulat Jerman itu boleh dikonsumsi.

Baca Juga  Lima Hal Ini Membuat Vaksin Produksi AstraZeneca Mubah Digunakan

Baca Juga

Yuk, Kita Cermati Cek Titik Kritis Kehalalan Camilan Lebaran

Yuk, Kita Cermati Cek Titik Kritis Kehalalan Camilan Lebaran

1 Mei 2022
Siap Santap Hidangan Lebaran, Tetap Perhatikan Titik Kritisnya!

Siap Santap Hidangan Lebaran, Tetap Perhatikan Titik Kritisnya!

30 April 2022
Anda Penikmat Kuliner Korea? Perhatikan Titik Kritis Makanan Korea Berikut

Anda Penikmat Kuliner Korea? Perhatikan Titik Kritis Makanan Korea Berikut

18 Oktober 2021
Fatwa-Fatwa MUI Wujud Dukungan terhadap Penanganan Covid-19

Fatwa-Fatwa MUI Wujud Dukungan terhadap Penanganan Covid-19

8 Oktober 2021

Para ulama menafsirkan dan menjelaskan, hal-hal yang didiamkan itu juga berarti Ma’fu ‘Anhu, hal yang dimaafkan. Artinya, dibolehkan atau halal hukumnya, kecuali kalau menjijikkan dan/atau membahayakan. Dalam hal ini berlaku kaidah hukum yang bersifat umum, yaitu kemanfaatan dan kemaslahatan. Kalau bermanfaat dan membawa maslahat (kebaikan), maka diperbolehkan. Dan sebaliknya, kalau membahayakan, maka terlarang: “Laa dhoror wa laa dhiror”. Tidak boleh membahayakan atau menimbulkan bahaya. Kalau berbahaya, maka menjadi haram.

Menjijikkan, sebagai terjemahan dari ungkapan kata “Khobaits” yang disebutkan dalam nash, itu artinya bertentangan dengan naluri kemanusiaan yang normal, sehingga akan selalu dihindari orang. Memang, menjijikkan itu sendiri sangat relatif. Misalnya, bagi orang tertentu, buah durian sangat menjijikkan. Mencium aroma atau baunya saja, langsung mau muntah. Sehingga membahayakan bagi dirinya. Maka, bagi orang itu, durian menjadi terlarang. Oleh karena itu, sebagian ulama menjelaskan “Khobaits” bermakna menjijikkan itu adalah najis. Karena, boleh dikata, semua orang tentu akan merasa jijik dengan najis.

Ulat itu kalau termasuk khobaits, menjijikkan, maka hukumnya haram untuk dikonsumsi, sedangkan kalau tidak termasuk khobaits, maka hukumnya boleh atau halal. Karena ada pendapat ulama, kalau ulat itu hidup di lingkungan atau dari pakan yang halal, maka hukumnya halal pula untuk dikonsumsi. Sebaliknya, kalau pakannya dari barang yang haram atau najis, maka hukumnya juga haram. Seperti ulat atau belatung yang hidup dan makanannya dari bangkai, maka hukumnya haram. Sedangkan kalau ulat itu hidup di dalam buah, misalnya buah mangga atau kacang panjang, lalu termakan, maka itu tidak masalah dari sisi agama. Dari sini maka dapat dipahami, kalau ulat itu dibudidayakan, maka harus diketahui terlebih dahulu pakannya.

Baca Juga  Halal dan Thayyib Lebih dari Sekadar Mutu

Meskipun demikian, secara spesifik dapat dijelaskan bahwa Ulat Jerman itu merupakan bagian dari tahapan metamorfosa kumbang. Menurut pendapat sebagian ulama, secara fisikal, tampilan fisik, Ulat Jerman itu memiliki unsur Istiqdzar atau menjijikkan, termasuk bagian dari Khobaits dalam pengertian yang umum. Kalau memang bisa disimpulkan termasuk Istiqdzar secara umum, maka mengkonsumsi Ulat Jerman itu menjadi terlarang. Karena ia bersifat Khobaits. Tetapi jika, dengan berbagai alasan, Ulat Jerman itu tidak termasuk Istiqdzar, maka ia tidak termasuk Khobaits, dan berarti tidak haram. Bisa dihukumi sama dengan hewan/serangga Cochineal yang telah difatwakan halal oleh Komisi Fatwa (KF) MUI. Atau juga seperti laron yang juga halal, dan telah lazim dikonsumsi oleh sebagian masyarakat.

Baca Juga  Sertifikat Halal Jadikan UMKM Bersaing Ekspor

Lebih lanjut lagi, menurut para ulama, ulat itu merupakan salah satu jenis hewan yang termasuk ke dalam kategori al-Hasyarot, dan dapat diqiyashkan atau dianalogikan sama dengan cacing.

Berkenaan dengan hal ini, dalam Fatwa yang telah ditetapkan oleh Komisi Fatwa MUI, dan telah pula dipublikasikan dalam buku Himpunan Fatwa MUI, hal 636-638, disebutkan bahwa sebagian ulama ada yang berpendapat halal hukumnya memakan cacing, sepanjang ia bermanfaat, dan tidak membahayakan. Ini merupakan pendapat Imam Malik, Ibn Abi Laila, dan Al-Auza’i. Namun ada pula pendapat ulama yang mengharamkan memakannya.

Berikutnya, membudidayakan cacing untuk diambil manfaatnya, tidak untuk dimakan, maka hal itu tidak bertentangan dengan hukum Islam. sedangkan membudidayakan cacing ini untuk diambil sendiri manfaatnya secara tidak langsung, misalnya untuk pakan burung, tidak untuk dikonsumsi manusia, maka hukumnya boleh (mubah).

Selain itu, harus pula ditelaah, apakah Ulat Jerman itu memiliki darah yang berwarna merah, atau darah yang mengalir. Sebab, kalau mengandung darah yang demikian, maka hukumnya haram. Oleh karena itu perlu pula dilakukan verifikasi dari tenaga ahli biologi atau pakar hewan jenis ini. Kami sebagai ulama, hanya bisa memberikan rambu-rambu atau batasan-batasan tentang ketentuan halal-haram untuk hewan jenis ini. Sampai sejauh ini, Komisi Fatwa MUI belum mengeluarkan fatwa khusus tentang halal atau haramnya mengkonsumsi hewan ini. Wallahu a’lam. (USM)

Sumber foto : abahtani.com

Share294Tweet184SendShareShare51

Related Posts

Yuk, Kita Cermati Cek Titik Kritis Kehalalan Camilan Lebaran
Halal MUI

Yuk, Kita Cermati Cek Titik Kritis Kehalalan Camilan Lebaran

1 Mei 2022
Siap Santap Hidangan Lebaran, Tetap Perhatikan Titik Kritisnya!
Halal MUI

Siap Santap Hidangan Lebaran, Tetap Perhatikan Titik Kritisnya!

30 April 2022
Anda Penikmat Kuliner Korea? Perhatikan Titik Kritis Makanan Korea Berikut
Berita

Anda Penikmat Kuliner Korea? Perhatikan Titik Kritis Makanan Korea Berikut

18 Oktober 2021

Kategori

  • Advertorial
  • Akhlaq
  • Aqidah
  • Berita
  • Bimbingan Syariah
  • DSN MUI
  • Ekonomi Syariah
  • Etika Sosial/Politik
  • Fatwa
  • Halal MUI
  • Hikmah
  • Hukum Keluarga
  • Ibadah
  • Infografis
  • Kegiatan
  • Khutbah
  • Majalah
  • Muamalah
  • MUI Bali
  • MUI DKI Jakarta
  • MUI Gorontalo
  • MUI JaBar
  • MUI JaTeng
  • MUI JaTim
  • MUI Lampung
  • MUI SulSel
  • MUI SumUt
  • Opini
  • Paradigma Islam
  • Pojok MUI
  • PPT
  • Press Release
  • Produk
  • Rekomendasi
  • Tanya Jawab Keislaman
  • Tuntunan Ibadah
  • Uncategorized
  • About
  • Advertise
  • Privacy & Policy
  • Contact

Copyright © 2021 - All Rights Reserved | Komisi Informasi dan Komunikasi MUI

No Result
View All Result
  • Home
  • Profil
    • Sejarah MUI
      • Kepengurusan MUI 2015-2020
      • Komisi 2015-2020
    • Kepengurusan MUI
    • Komisi
      • KOMISI FATWA
      • KOMISI UKHUWAH ISLAMIYAH
      • KOMISI PENDIDIKAN DAN KADERISASI
      • KOMISI DAKWAH
      • KOMISI PENGKAJIAN DAN PENELITIAN
      • KOMISI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
      • KOMISI PEMBERDAYAAN EKONOMI UMAT
      • KOMISI PEREMPUAN, REMAJA DAN KELUARGA
      • KOMISI INFORMASI DAN KOMUNIKASI
      • KOMISI KERUKUNAN ANTAR UMAT BERAGAMA
      • KOMISI HUBUNGAN LUAR NEGERI DAN KERJASAMA INTERNASIONAL
    • Lembaga
      • LPPOM MUI
      • Dewan Syariah Nasional
      • LSP Majelis Ulama Indonesia
      • Dewan Halal Nasional
      • Islamic Dakwah Fund (IDF)
      • LSP DSN MUI
      • PINBAS
      • Basyarnas MUI
      • LPLH & SDA
      • Ganas Annar
      • LPBKI
  • Berita
    • Hoax
  • Produk
    • Majalah
    • Infografis
    • TV MUI
  • Fatwa
  • Konsultasi
    • Tanya Ulama
    • Bimbingan Syariah
      • Aqidah Islamiyah
      • Tuntunan Ibadah
      • Ekonomi Syariah
      • Etika Sosial/Politik
      • Hukum Keluarga
      • Paradigma Islam
    • Tanya Jawab Keislaman
      • Akhlaq
      • Aqidah
      • Ibadah
      • Muamalah
    • Jadwal Layanan Konsultasi
  • Khutbah
  • MUI Provinsi
    • MPU Aceh
    • MUI Sumatera Utara
    • MUI Sumatera Barat
    • MUI Lampung
    • MUI DKI Jakarta
    • MUI Jawa Barat
    • MUI Jawa Tengah
    • MUI Jawa Timur
    • MUI Sulawesi Selatan

Copyright © 2021 - All Rights Reserved | Komisi Informasi dan Komunikasi MUI

Welcome Back!

Login to your account below

Forgotten Password?

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In